Senin, 16 Januari 2012

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Rais:Tokoh Reformasi Indonesia


Bila menyebut nama tokoh yang satu ini, Muhammad Amin Rais, langsung pikiran kita akan teringat reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 bersama kekuatan mahasiswa yang berhasil melengserkan Soeharto dari tampuk kepemimpinannya yang telah didudukinya dengan nyaman selama 32 tahun. Maka ia didaulat menjadi tokoh gerakan reformasi.
Muhammad Amin Rais merupakan tokoh Indonesia yang sangat kritis terhadap permasalahan yang dihadapi. Ia juga acap kali memberikan kritik terhadap pemerintahan Soeharto yang sangat otoriter dan alergi terhadap berbagai kritikan yang ditujukan terhadap pemerintahan yang ia jalankan. Maka tidak heran, banyak tahanan-tahanan politik pada masa orde baru. Tetapi kenyataan itu tidak menyurutkan semangat dan keberanian untuk melontarkan krtitik terhadap pemerintahan orde baru.

Muhammad Amin Rais dilahirkan di Surakarta pada tanggal 26 April 1944. lahir dan dibesarkan dalam keluarga aktivis Muhammadiyah. Sebuah keluarga yang sangat taat menjalankan agamanya. Suhud Rais, ayahnya, adalah lulusan Mu’allimin Muhammadiyah dan semasa hidupnya bekerja sebagai pegawai kantor Departemen Agama. Sang Ayah juga merupakan anggota Dewan Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah cabang Surakarta.

Sedangkan ibunya, Sudalmiyah, aktif dalam kegiatan organisasi kewanitaan Muhammadiyah, Aisyiyah. Sang Ibu, adalah alumni Hogere Inlandsche Kweekschool [HIK] Muhammadiyah, kemudian menjadi aktivis Aisyiyah dan pernah menjabat sebagai ketuanya di Surakarta selama dua puluh tahun.

Sudalmiyah juga dikenal sebagai seorang guru yang ulet. Ia mengajar di Sekolah Guru Kepandaian Putri [SGKP] Negeri dan Sekolah Bidan Aisyiyah Surakarta. Karena prestasinya di dunia pendidikan, pada tahun 1985, Sudalmiyah mendapat gelar Ibu Teladan se-Jawa Tengah. Sang Ibu juga aktif di partai politik Masyumi ketika masa jayanya pada tahun 1950-an. Kakek Amien Rais, Wiryo Soedarmo, adalah salah seorang pendiri Muhammadiyah di Gombong, Jawa Tengah. Jadi, Amien Rais dilahirkan dari keluarga yang sangat kental Muhammadiyahnya.

Amien merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Kakaknya Fatimah dan empat adiknya Abdul Rozak, Achmad Dahlan, Siti Aisyah dan Siti Asyiah. Mereka tumbuh dan dibesarkan di kampung Kepatihan Kulon. Sejak kecil mereka sudah dilatih disiplin oleh sang ibu. Bila Amien kecil melanggar, sang ibu tidak segan-segan menghukumnya.

Mereka harus bangun pukul 04.00 WIB setiap pagi. Caranya dengan meletakkan jam weker di dekat tempat tidur. Dan ketika bangun, mereka diminta untuk mengucapkan “ashalatu khairum minan naum” dengan suara keras sehingga terdengar sang ibu. Sang ibu biasanya memberikan imbalan berupa uang 50 sen. Uang tersebut lalu mereka tabung, untuk dibelikan baju baru menjelang lebaran.

Muhammad Amin Rais menikah pada 9 Februari 1969, dengan seorang gadis yang sudah dikenalnya sejak mereka masih sama-sama kanak-kanak, namanya Kusnasriyati Sri Rahayu. Merek dikaruniai lima orang anak, tiga putra dan dua putri. Yang pertama diberi nama Ahmad Hanafi, kemudian Hanum Salsabiela, Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia, dan terakhir Ahmad Baihaqy.

Pendidikannya mulai dari TK sampai SMA, semuanya dijalani di Sekolah Muhammadiyah. Sekolah dasar diselesaikan pada tahun 1956, kemudian SMP pada tahun 1959 dan SMA pada tahun 1962. di samping pendidikan umum, Amin Rais juga mengenyam pendidikan pesantren, yakni di pesantren Mamba’ul Ulum dan juga pernah nyantri di Pesantren Al-Islam.

Setelah tamat dari SMA, sang ibunda tercinta mengharapkan ia melanjtkan pendidikan perguruan tingginya di Al-Azhar, Mesir. Sedangkan sang ayah mengingingkan ia melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada (UGM). Nampaknya, Amin lebih cocok dengan pilihan sang ayah, melanjutkan ke UGM. Agar tidak mengecewakan harapan sang ibu, Amin juga mendaftar diri sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sejak belia Amin Rais sudah aktif menulis. Dawam Rahardjo menuturkan bahwa Amin Rais adalah telah menjadi penulis ketika menjadi mahasiswa dan menjadi penulis yang tajam dan produktif. Dengan bakat menulis yang dimilikinya inilah Amin Rais dapat menulis lebih dari 23 buku tentang Islam dan Politik.

Selain aktif menuis, ia juga sangat gandrung dengan organisasi. Di mulai dari pandu Hizbul Wathan. Ketika menjadi mahasiswa, ia adalah salah seorang pendiri Ikatan Mahasiswa Muhamnmadiyah (IMM). Selain itu, ia juga aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan dipercaya menduduki jabatan Sekretaris Lembaga Dkwah Mahasiswa Islam (LDMI) HMI Yogyakarta.

Tahun 1968, Amin menyelesaikan studinya di UGM dengan skripsi berjudul “Mengapa Politik Luar Negeri Israel Berorientasi Pro Barat.” Amin lulus dengan mendapatkan nilai A.

Kemudian melanjut ke pascasarjana di University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat, yang diselesaikan tahun 1974 dengan gelar MA. Tesisnya adalah mengenai politik luar negeri Anwar Sadat yang waktu itu sangat dekat dengan Moskow. Itu sebabnya Amien juga harus mendalami masalah komunisme, Uni Soviet dan Eropa Timur.

Minatnya yang sangat besar dalam masalah Timur Tengah tetap tumbuh. Setelah pulang ke tanah air sebentar, ia kembali lagi ke Amerika untuk mengikuti program doktor di University of Chicago, AS dengan mengambil bidang studi Timur Te-ngah. Tahun 1981 ia berhasil meraih gelar doktor, dengan disertasi berjudul: The Moslem Brotherhood in Egypt: Its Rise, Demise and Resurgence [Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan, dan Kebangkitannya Kembali].

Penelitian untuk menyusun disertasinya dilakukan di Mesir dalam waktu sekitar satu tahun. Selama berada di Mesir, waktunya dimanfaatkan juga untuk menjadi mahasiswa luar biasa di Departemen Bahasa Universitas Al Azhar, Kairo. Tesis ini semakin memperkokoh kedudukannya dalam lingkup cendekiawan muslim di Indonesia.

Ada cerita cukup menarik tahun 1972 selagi kuliah di Amerika Serikat. Amien sering menjejalkan enam kaset lagu-lagu langgam Jawa gubahan dalang kondang almarhum Ki Narto Sabdo bersama sembilan kaset dagelan (almarhum) Basiyo di antara buku-buku di kopernya. Istrinya, Ny Kusnasriyati menyiap-kan bekal kaset itu untuk pengobat rindu di perantauan.

“Kalau sedang sumpek, kangen Tanah Air, rindu keluarga di rumah, saya memutar kaset-kaset itu berulang-ulang. Justru di negeri orang itu saya jatuh cinta membangun hubungan batin dengan gamelan, lagu langgam Jawa, dan gamelan,” tutur Amien Rais.

Kegemarannya dengan langgam Jawa itulah yang mendorongnya merekam sendiri suara dan menyanyikan lagu-lagu yang disukainya. Lagu-lagu itu kemudian dikemas dalam album VCD berjudul Campur Sari Reformasi.

VCD ini berisi videoklip tayangan Amien Rais dan Ny Kusnasriyati menyanyikan lima lagu gubahan Ki Narto Sabdo dalam irama yang sekarang diistilahkan “campursari”. Ketika rekaman dimulai, mengambil tempat di rumahnya, di Solo, Amien mengaku menghadapi kesulitan. Sebuah lagu, Mbok Ya Mesem (Tersenyumlah) direkam berulang-ulang sampai dua setengah jam lamanya.

“Setelah cukup pengalaman, tiga lagu terakhir direkam hanya dalam dua jam. Dibandingkan penyanyi profesional, pasti cara saya membawakan lagu itu menimbulkan tertawaan. Tapi, untuk ukuran penyanyi amatiran seperti saya, kelihatannya cukup-lah,” tutur Amien Rais.

Di UGM ia mengasuh mata kuliah Teori Politik Internasional serta Sejarah dan Diplomasi di Timur Tengah. Ia juga dipercaya mengajar mata kuliah Teori-teori Sosialisme. Yang paling menyenangkannya adalah mata kuliah Teori Politik Internasional. Di Fakultas Pascasarjana UGM ia dipercaya memegang mata kuliah Teori Revolusi dan Teori Politik.

Bersama dengan beberapa tokoh nasional seperti, Moeljoto Djojomartono, Soedjatmoko, Ahmad Baiquni, Kuntowijoyo, Bambang Sudibyo, Umar Anggara Jenie, Ichlasul Amal, Yahya A. Muhaimin, Affan Gafar, dan A. Syafi’i Ma’arif untuk memimpin Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK). PPSK adalah lembaga pengkajian dan penelitian di bawah Yayasan Mulia Bangsa Yogyakarta. PPSK, menurut Dawam Rahardjo, memiliki peran yang besar dalam mebidani lahirnya ICMI. Sebab di kantor inilah pertama kali konsep ICMI digodok, sebelum kemudian dibawa ke Malang.

Amin Rais juga dipercaya sebagai asisten Ketua ICMI (1991-1995). Di samping itu Amin pernah menjadi peneliti senior di BPPT (1991), anggota grup V Dewan Riset nasional (1995-2000). Ia juga sebagai penulis tetap resonansi di Harian Umum Republika. Beberapa tulisannya sangat tajam dalam memberikan kritik terhadap kebobrokan Orde Baru dan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Seperti tulisannya yang menyoroti permasalahan Freeport dan Busang yang memerahkan telinga Soeharto dan membuatnya ia terlempar dari kursi Ketua Dewan Pakar ICMI, serta dicoret dari daftar calon anggota MPR di tahun 1997.

Sekalipun banyak aktivitas yang dijalani, namun Muhammadiyah tetap menjadi nomor satu di hati Amin Rais. Hal ini karena kultur dan kehidupannya dan mengikuti jejak orang tuanya. Pada Mukatamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tanggal 1-5 Juli 1995, Amin Rais terpilih sebagai Ketua Muhammadiyah periode 1995-2000. selama menjadi pimpinan Muhammadiyah banyak pemikiran brilian dan berani yang ia lontarkan yang menghangatkan kondisi sosial politik Indonesia. Mulai dari tauhid sosial, pentingnya zakat profesi, isu suksesi kepemimpinan nasional, kritik atas Busang dan Freeport, serta ide agar Muhammadiyah memfasilitasi berdirinya partai yang sesuai dengan aspirasi Muhammadiyah tetapi bersifat plural dan terbuka.

Dengan ide gagasannya itulah, kemudian sidang tanwir Muhammadiyah di Semarang Tanggal 5-7 Juli 1998, disepakati rumusan rekomendasi Muhammadiyah memfasilitasi pendirian partai politik. Maka, pada tahun 1998 tanggal 8 Agustus dideklarasikan pendirian Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Amin Rais sebagai Ketua Umum.

Kepiawiannya berpolitik juga sudah terbukti. Kendati partai yang dipimpinnya bukan pemenang Pemilu 1999, tapi peranannya dalam pentas politik nasional sangat menonjol. Sehingga ia pantas digelari sebagai King Maker Pentas Politik Nasional. Ia pun terpilih menjadi Ketua MPR RI.

Kecerdasannya menggalang partai-partai berbasis Islam membentuk Poros Tengah, suatu bukti kepiawiaannya berpolitik. Pembentukan Poros Tengah ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kericuhan dan perpecahan bangsa, sebagai akibat kerasnya persaingan perebutan jabatan presiden antara BJ Habibie (Partai Golkar) dengan Megawati Sukarnoputri (PDIP).

Dan, memang Poros Tengah secara gemilang berhasil merubah konstalasi politik nasional secara signifikan. Amien Rais tampak berperan sebagai play maker bahkan king maker dalam berbagai manuver politik Poros Tengah yang berpengaruh luas dalam pentas politik nasional. Ia jauh lebih berperan dari pimpinan partai politik (PDIP, Partai Golkar, PPP dan PKB) yang meraih suara lebih besar dibanding PAN pada Pemilu 1999.

Salah satu manuver politik Amien Rais (dengan mengangkat bendera Poros Tengah) yang dinilai banyak orang sangat brilian adalah pernyataannya menjagokan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden. Manuver ini berhasil melemahkan kekuatan Megawati, sebagai calon kuat presiden ketika itu, karena berhasil menarik PKB dari koalisinya dengan PDIP. Tetapi juga sekaligus melemahkan kekuatan BJ Habibie, yang sebenarnya tidak diinginkan beberapa elit politik partai berbasis Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, seperti PPP dan PBB.

Bahkan, justeru BJ Habibie yang terlebih dahulu -- secara tidak langsung -- terkena dampak manuver politik Poros Tengah. Laporan pertangungjawaban Habibie ditolak SU-MPR 1999, yang memaksanya secara etika politik mengurungkan pencalonan presiden.
Mundurnya BJ Habibie membuka peluang kepada Amien Rais, Akbar Tanjung, Hamzah Haz, dan Yusril Ihza Mahendra ikut dalam bursa calon presiden. Dalam pertemuan di kediaman BJ Habibie, pada malam setelah LPJ-nya ditolak MPR, nama keempat pemimpin partai ini dibahas sebagai calon presiden pengganti BJ Habibie. Dan, terakhir Amien Rais yang lebih diunggulkan.

Hampir saja Amien Rais resmi menjadi calon presiden yang dijagokan Poros Tengah dan Golkar. Tetapi Amien Rais tidak mau gegabah. Kendati peluangnya menjadi calon kuat presiden telah terbuka, ia ingin melakukannya dengan lebih elegan.

Ia ingin berbicara lebih dulu dengan Gus Dur. Ia butuh dukungan Gus Dur, sama seperti ia mengalah-kan Matori Abdul Jalil untuk merebut jabatan Ketua MPR. Apalagi Amien Rais telah secara terbuka menyatakan bahwa ia dan Poros Tengah akan mencalonkan Gus Dur menjadi presiden. Sehingga betapa pun kuatnya dorongan agar ia men-jadi presiden, ia tidak mau gegabah. Ia punya etika dan moral politik.

Maka ketika Gus Dur telah mendahului secara resmi dicalonkan PKB untuk merebut kursi presiden, Amien Rais tidak mau bersaing mencalonkan diri. Ia dan Poros Tengah mendukung pencalonan Gus Dur. Sehingga jadilah Gus Dur, dengan kesehatan jasmani yang sudah terganggu, terpilih menjabat presiden menga-lahkan Megawati Sukarnoputri pemimpin partai pemenang Pemilu (35%).

Poros Tengah yang dimotori Amien Rais berhasil merubah konstalasi politik nasional secara signifikan. Poros Tengah berhasil meredam kemungkinan terjadinya kericuhan antara dua kekuatan pendukung Megawati dengan BJ Habibie, yang berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa. Poros Tengah berhasil mengantarkan KH Abdurrahman Wahid ke singgasana presiden. Kendati Abdurrahman Wahid dalam banyak hal sering berbeda pendapat dengan prinsip yang dianut para elit politik Poros Tengah.

Itu semua tidak terlepas dari kepiawian Amien Rais. Dengan hanya mendapat tujuh persen suara pada pemilu 1999, Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpinnya mampu mewarnai peta politik setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Tidak sedikit pujian yang kemudian dialamatkan kepadanya.

Menanggapi puji-pujian ini ia sendiri hanya mengatakan, “Apa yang saya lakukan itu semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara tercinta. Saat itu bangsa ini berada di ambang kehancuran. Untuk mencegahnya maka ditawar-kan Poros Tengah sebagai alternatif. Alhamdulilah, tawaran itu mendapat sambutan cukup baik dari sebagian besar kalangan,” katanya.

sayang, seiring berjalannya waktu, hubungan antara Gus Dur dan Amien Rais merenggang. Kekuatan Poros Tengah yang dulu mendukung Gus Dur, mulai merasa tak dihargai. Gus Dur cepat lupa kepada mereka yang memungkinkannya jadi presiden. Gus Dur kembali dalam habitatnya, dan sering kontroversial.

Selain itu pemecatan Menko Kesra, Menko Polkam, serta kapolri dan isu kasus Bruneigate dan Buloggate, membuat gerah pros tengah. Sehingga di tahun 2001 melalui SU MPR diputuskan mengganti Gus Dur dan mengangkat Megawati sebagai Presiden RI kelima.

Pada Pemilu 2004, Amin Rais dicalonkan Pan sebagai calon Presiden RI berpasangan dengan Siswono Yudohusodo sebagai cawapresnya. Namun ternyata di dalam pemilu 2004, Amin Rais-Siswono hanya mendulang 14,68 juta suara pemilih dan menempati keempat di bawah pasangan Capres-Cawapres SBY-Kalla, Mega-Hasyim, dan pasangan Wiranto-Sholehuddin.

Setelah usinya pemilu 2004, Amin memilih kembali ke kampus dan menempatkan diri sebagai Bapak Bangsa. (zar, www.pkesinteraktif.com)
Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar