Selasa, 17 Januari 2012

Ima Mayasari, Doktor Hukum Termuda UI yang Hobi Fotografi

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 16/12/2011 14:34 WIB
 
Jakarta - Suaranya renyah. Jawabannya lugas. Dari ujung telepon, Ima Mayasari tanpa ekspesi menyebut pada 22 Oktober lalu dia menyelesaikan pendidikan strata 3 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Di usianya yang baru 28 tahun, Ima menyandang gelar doktor bidang hukum.

"Pada 22 Oktober 2011 lalu berhasil mempertahankan disertasi di hadapan sidang terbuka akademik UI. Adapun untuk wisudanya nanti pada Februari 2012," kata Ima saat berbincang dengan detikcom, Jumat, (16/12/2011).

Di website resmi FH UI, law.ui.ac.id, Ima disebut sebagai Doktor termuda dari FH UI dengan promotor Safri Nugraha, Ko Promotor Bhenyamin Hoesein dan penguji Valerine J.L. Kriefkhoff, Abrar Saleng, dan Budi Darmono.

Ima menghabiskan masa kecilnya di Jombang, Jawa Timur. Usai menyelesaikan pendidikan SMA, dia memasuki FH UI pada 2001. Pendidikan strata 1 dia selesaikan selama 3,5 tahun dan diwisuda pada Februari 2005. Tidak mau lama-lama menganggur, Agustus 2005 dia kembali meneruskan pendidikan strata 2 di kampus yang sama.

"Untuk kuliah S1 dibiayai oleh orang tua. Sedangkan untuk S2 saya biayai sendiri. Kan sudah bekerja di kantor hukum," ujar wanita berjilbab ini.

Kelas malam untuk S2 itu dia selesaikan dalam tempo 2 tahun. Lulus Februari 2007, lagi-lagi ambisi untuk menimba pengetahuan membuatnya bertekad masuk bangku kuliah, setelah 5 bulan menggondol Master Hukum. Setelah 3 tahun bergelut dengan berbagai diktat, buku dan kasus, akhirnya 22 Oktober dia menuntaskan jenjang pendidikan formal S-3.

"Total S1 hingga S3 adalah 10 tahun. Tantanganya terkait waktu dan lokasi kuliah, kantor dan tempat tinggal yang terpencar. Tapi itu tantangan, bagaimana memanajemen waktu dan bagaimana memanajemen pengelolaan keadaan," beber perempuan yang akan mengakhiri masa lajangnya tahun depan.

Sebagai persembahan terhadap ilmu pengetahuan, dia menulis desertasi tentang sengketa pertambangan. Yaitu berjudul 'Sengketa Izin Pertambangan di Era Otonomi Daerah Studi Kasus: Sengketa Izin Pertambangan antara Badan Usaha Milik Negara Pertambangan dan Kepala Daerah di Kabupaten Konawe Utara dan Kabupaten Halmahera Selatan (Periode Tahun 2007-2011)'.

"Saya menyarankan untuk pertambangan tidak didesentralisasikan. Karena kekayaan bumi ini adalah milik bangsa, bukan milik daerah," cetusnya.

Mendapati putrinya melewati jenjang pendidikan tertinggi ini, kedua orang tuanya di Jombang tidak henti-hentinya bersyukur. Apalagi, pekerjaann Ima di sebuah kantor hukum di bilangan segi tiga emas Kuningan, Jakarta tidak terbengkelai.

"Bos saya memberi supprot. Saat kuliah S3, saya cuti," kisahnya.

Kurun satu dekade tersebut, dia berjibaku dengan buku, kantor, pengadilan dan ruang kelas. Tapi dia tetap bisa menikmati dunia lain selain rutinitas tersebut. Bermodal kamera Canon 550 D, tidak ada objek menarik yang terlewatkan.

"Kalau sedang tugas ke luar kota, itu sangat menyenangkan. Bisa membuat refresh. Apalagi hobi saya jalan-jalan," tuturnya.

Lalu apa motovasi dia menyelesaikan jenjang doktor di usia muda? "Saya cuma ingin dapat ilmu. Seandainya setelah itu ada yang diperoleh, itu namanya karier," ucap dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar