Selasa, 17 Januari 2012

Nasib Hatta Bisa Seperti Nasib Amien Rais


 

Jakarta - Hasil Rakernas Partai Amanat Nasional (PAN) yang telah berlangsung dari tanggal 9 sampai 11 Desember 2011, salah satunya adalah merekomendasikan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa menjadi calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2014. Dengan rekomendasi tersebut maka selepas rakernas, partai berlambang matahari itu akan bekerja, bekerja, dan bekerja.

Dengan rekomendasi itu menunjukan PAN sebagai partai pertama yang secara resmi telah menyatakan siapa calon presidennya dalam Pemilihan Presiden 2014. Partai lainnya saat ini masih bisik-bisik, malu-malu menyatakan diri calon presidennya, mencari figur atau masih menggodok di antara kadernya untuk selanjutnya dideklarasikan.

Lalu bagaimana peluang Hatta Rajasa sendiri dalam Pemilihan Presiden 2014 yang akan datang? Kalau kita cermati partai yang didirikan oleh Amien Rais bersama beberapa tokoh nasional ini, dari pemilu ke pemilu mengalami penurunan suara, sehingga pada Pemilu 2014, dengan aturan parliamentary threshold yang mungkin lebih tinggi daripada parliamentary threshold dalam Pemilu 2009, akan bisa mendepak PAN dari parlemen karena tidak lolos dari parliamentary threshold.

Dalam Pemilu 1999 suara yang diraih PAN adalah 7.528.956 (7,12%) dengan jumlah kursi di DPR 34. Dalam Pemilu 2004 suara yang diraihnya, 7.303.324 (6,44%). Meski suara yang diraih turun namun jumlah kursi yang didapat meningkat menjadi 53. Kemudian pada Pemilu 2009, penurunan suara kembali terjadi. Pada pemilu ini suara yang diraih hanya 6.254.580 (6,01%), sehingga kursi yang didapat cuma 43 buah.

Ketidakberhasilan mendulang suara yang signifikan inilah yang mengakibatkan PAN selanjutnya gagal mengantarkan Amien Rais menjadi presiden dalam Pilpres 2004. Pada pilpres yang di mana Amien Rais berpasangan dengan Siswono Yudhohusodo, raihan suara yang diperoleh hanya 17.392.931 (14,66%). Perolehan suara ini menempatkan pasangan Amien Rais-Siswono Yudhohusodo berada pada urutan 4 dari lima pasangan. Selanjutnya dalam Pilpres 2009, PAN tidak mengajukan capres atau cawapres dari kadernya namun menyokong pasangan SBY-Budiono sebagai capres-cawapres.

Merosotnya PAN dari pemilu ke pemilu tentu disebabkan partai ini gagal dalam mengembangkan jaringan dan menawarkan sesuatu yang baru kepada rakyat. Selama ini PAN bisa jadi hanya mengandalkan suara dari massa Muhammadiyah tanpa berusaha untuk mengembangkan basis massanya ke segmen yang lebih luas. Padahal di Muhammadiyah sendiri tidak ada kewajiban untuk memilih salah satu partai dan warga Muhammadiyah sendiri tersebar di berbagai partai. Lain hal dengan PKB yang massanya jelas semuanya dari NU dan mereka pun mendukung partai yang didirikan oleh Gus Dur itu.

Banyak segmen-segmen masyarakat yang tidak digarap oleh PAN dan partai politik lainnya padahal itu potensial. Petani yang selama ini 'dilupakan' oleh partai politik dan tiba-tiba digarap oleh partai baru, Partai Gerindra, ternyata suaranya mampu meloloskan partai yang didirikan oleh Prabowo Subianto itu dari parlemen threshold 2,5%. Dengan perolehan suara mencapai 4.646.406 (4,46%) mampu mengantarkan partai berlambang kepala burung garuda meraih 26 kursi. Coba kalau segmen petani jauh-jauh hari digarap oleh PAN, pasti suara dan kursi yang diraih akan meloncat bertambah.

Demikian pula PKS, partai yang awalnya bernama Partai Keadilan dan di DPR periode 1999-2004, hanya meraih 7 kursi, dan bergabung dengan PAN membentuk Fraksi Reformasi, berhasil meningkatkan jumlah suara yang diraih dari pemilu ke pemilu karena mampu mengembangkan jaringan massanya. Dari sebatas jaringan kampus mengembang ke jaringan pengajian di setiap sudut-sudut rukun tetangga, dari akademisi sampai masyarakat bawah. Hal seperti ini juga tidak dilakukan oleh PKS.

Selain tidak mampu mengembangkan jaringan organisasi, yang menyebabkan peroleh suara PAN merosot, faktornya lainnya adalah PAN terbilang tidak aspiratif dengan tuntutan masyarakat. Bukti dan fakta adalah PAN menolak pembentuk hak angket Century dan menyatakan tidak ada kesalahan dalam bailout Bank Centruy, padahal keinginan masyarakat luas adalah perlu dibentuknya hak angket century dan adanya kesalahan dalam bailout Bank Century. Keputusan-keputusan PAN itu tentu menciderai perasaan rakyat yang pro reformasi dan penegakan hukum. Apa yang dilakukan oleh PAN ini mengkhianati cita-cita awal para pendiri partai di masa-masa reformasi.

PAN terjebak dalam mendukung elit kekuasaan tidak terlibat dalam bailout Bank Century karena PAN terlalu terobsesi dengan kekuasaan. PAN lebih mengedepankan memilih jabatan menteri daripada memperjuangkan aspirasi yang berkembang. Loyalitas dalam Setgab membuat PAN mengkerdilkan diri dari aspirasi rakyat.

Sikap PAN seperti pak turut kepada Setgab dan Partai Demokrat menjadi lebih-lebih ketika Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY besanan. Perkawinan antara Edy Baskoro Yudhoyono putra SBY dan Siti Rubi Aliya Rajasa putri Hatta Rajasa membuat posisi Hatta Rajasa baik sebagai Menko Perekonomian dan Ketua Umum PAN tidak bisa berbuat banyak membawa diri dan partainya mengkritisi kebijakan SBY dan Partai Demokrat. Pastinya Hatta Rajasa ewuh pakewuh dengan SBY. Hal demikian tentu merugikan PAN. Kalau dalam istilah Jawa ia akan termakan surgo ora iso nunut, neroko katut. Artinya, hidup dan matinya tergantung dari Partai Demokrat. Syukur kalau Partai Demokrat masih eksis. Masalahnya bila Partai Demokrat hancur.

Posisi-posisi demikianlah yang membuat PAN semakin tidak terdengar dan tidak nampak kiprahnya di masyarakat. Keberadaan PAN tertutup oleh hingar bingarnya geliat politik yang semua beritanya tidak memberitakan aktivitas PAN yang menuntut perubahan ke arah yang lebih baik dan penegakan hukum. Sehingga banyak orang bertanya, PAN di mana kamu?

Lemahnya PAN tentu akan berimbas pada pencapresan Hatta Rajasa. Mungkin dalam Pemilihan Presiden 2014, nasibnya lebih tragis daripada Amien Rais, kalah dengan suara yang tragis. Mending dalam Pemilihan Presiden 2004, Amien Rais selain sosok reformis, ia juga didukung secara penuh oleh Muhammadiyah, sedangkan Hatta Rajasa tentu tidak demikian.
Ardi Winangun - detikNews
Selasa, 13/12/2011 08:35 WIB
 
*) Ardi Winangun adalah pengamat politik dan siswa Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa.
Ardi Winangun. Penulis tinggal di Matraman, Jakarta. Nomor kontak: 08159052503. Email: ardi_winangun@yahoo.com









Tidak ada komentar:

Posting Komentar