Senin, 16 Januari 2012

ISLAM TERORIS ATAU ISLAM DITEROR … ?


Upaya memberantas terorisme patut disambut dan didukung semua lapisan masyarakat. Karena terorisme adalah sebuah bencana kemanusiaan. Masalahnya kemudian adalah, sejauhmana isu terorisme ini dapat menyentuh pokok masalah dan bukan malah melahirkan bias. Isu terorisme yang membias, bukan saja bisa membuat kita  gagal memberantas terorisme, tetapi justru  kita memancing lahirnya teroris-teroris baru.
Terorisme sendiri adalah “istilah baru” yang dipublikasikan oleh Amerika dan sekutu-sekutunya. Sehingga layak dicermati secara lebih proporsional dan teliti. Menurut US Department of Defense tahun 1990 Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau ideologi.sedangkan Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI) Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik.
Artinya sebuah tindakan kekerasan yang bersifat menghalalkan segala cara untuk memaksa orang lain, lembaga, pemerintah, guna tercapainya   maksud dan tujuan tertentu.  Siapapun yang melakukan hal tersebut pantas disebut sebagai teroris.
Tetapi permasalahannya mengapa “terorisme” selalu diarahkan kepada kelompok dengan obyek tertentu. Ingat ketika kita berjuang melawan penjajahan Belanda, para pejuang kita selalu dijuluki “ekstremis” dan mungkin kalau sekarang “teroris”. Kemudian pejuang Palestina yang memperjuangkan hak hidupnya di bumi yang dirampas penjajah Israel juga disebut sebagi teroris, padahal ada kemiripan perjuangan antara pejuang palestina dan pejuang2 kita yaitu menggunakan sistem gerilya. Tindakan amerika yang melakukan serangan illegal (agresi) terhadap Iraq dan beberapa negara yang menimbulkan ketakutan rakyat Iraq apakah tidak bisa disebut sebagai tindakan terorisme ?
Terorisme : Strategi Baru Amerika ?
Amerika telah menyelesaikan dengan baik perang dingin dan akhirnya keluar sebagai pemenang. Amerika yang kapitalis tulen itu, lalu memposisikan dirinya sebagai polisi dunia. Berita Amerika tidak lebih dari berita keterlibatan dan negosiasi dengan negara-negara lain, sedang berita dalam negeri mereka sendiri, kita kurang sekali memperoleh informasi. Kenapa ? Pertama : Boleh jadi kita kurang peduli dengan bagaimana sebenarnya keadaan masyarakat Amerika itu sendiri. Kedua : Boleh jadi karena kehidupan dan kelangsungan Amerika justru hanya akan diperoleh jika ia bisa menjadikan negara-negara lain sebagai pengekor sistim kapitalis yang dibangunnya.Karena dengan sistim itu, ia bisa mengeruk sebanyak mungkin kekayaan negara lain dan mengekspor sebanyak mungkin produk mereka untuk dijadikan menu bagi negara lain tersebut. Hubungan-hubungan diplomatik yang dibangun Amerika, adalah dalam kerangka membangun eksistensi warga Amerika, bukan diplomasi dalam konteks persaudaraan, persamaan hak dan prinsip kesetaraan.Ketiga : Karena alasan kedua, maka berita Amerika dan sekutunya adalah berita “hubungan internasional”. Hampir 90 % lebih berita tentang Amerika adalah berita “kepedulian mereka terhadap negara orang lain”.
Ketika perang dingin usai dengan hancurnya blok komunis, maka penghalang besar bagi kemajuan industri kapitalis adalah Islam. Dan berbeda dengan komunis, menghancurkan Islam bukanlah dengan mengandalkan senjata semata. Islam adalah sebuah komunitas terbesar dalam belahan bumi dimana sumberdaya alam mereka demikian menjanjikan. Maka pola politik yang dibangun ditata seefektif dan se-fleksibel mungkin, namun sekali waktu dengan pukulan yang mematikan.
Pasca peristiwa “Black September”, runtuhnya WTC di New York, Indonesia menjadi lahan subur bagi AS untuk menancapkan pengaruhnya melalui intervensi ekonomi di Indonesia dengan dalih memerangi terorisme. Pada 2 Agustus 2002, melalui Keduataan Besar AS di Indonesia, Departemen Luar Negeri AS menggelontorkan dana lebih dari US$ 50 juta kepada pemerintah Indonesia guna membiayai proyek bertajuk “Program Anti-Terorisme Jangka Panjang”. Sekitar US$ 47 juta akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan polisi, sedangkan sekitar US$ 4 juta akan digunakan untuk pelatihan bagi TNI.
Wakil Ketua Sub Anggaran Komisi III DPR, HRM Pupung S. Wirjohamidjojo, kepada wartawan pernah menyatakan, sumber dana pembangunan kantor Polda yang dikerjakan tidak ditemukan dalam APBN Tahun 2004 ataupun 2005. Berdasarkan proposal rencana pembangunan, Gedung Densus 88 Antiteror Polda terdiri dari 23 lantai dan menelan biaya Rp 617 miliar. Total anggaran yang diperlukan mencapai Rp 1,1 triliun, termasuk renovasi gedung utama dan pembangunan kawasan Polda lainnya (Kompas, 7/12).
Dalam beberapa kesempatan, Firman mengatakan bahwa pembangunan Gedung Densus 88 Antiteror menggunakan anggaran multiyears. Artinya, dana pembangunan disesuaikan dengan kekuatan keuangan negara yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kepala Bidang Humas Komisaris Besar I Ketut Untung Yoga Ana mengatakan, keterbatasan anggaran membuat renovasi dan pembangunan fisik dilakukan dengan memperhitungkan skala prioritas. “Kebetulan saja prioritas pembangunan di bidang reserse, lalulintas, narkoba, juga humas,” katanya. Sedangkan untuk Sabhara dan Brimob belum mendapat alokasi. “Saya juga kasihan melihat mereka yang datang ke rumah sendiri seperti tamu. Harapannya, pembangunan bisa dilanjutkan,” katanya.
Selain kepolisian, aparat penegak hukum juga memperoleh berkah dari bisnis terorisme ini. Tidak kurang dari Ketua DPR RI Agung Laksono sendiri yang angkat bicara, mempertanyakan hibah dari pemerintah Amerika Serikat (AS) sebesar US$ 750 ribu bagi Kejaksaan Agung yang akan digunakan untuk mendanai satuan tugas (satgas) antiteror. Pada 27 Juli 2005, di gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Agung Laksono menyatakan khawatir ada maksud tertentu di balik pemberian hibah dana tersebut. “Kejaksaan Agung harus menjelaskan kenapa dibiayai AS, bukan diambil dari APBN. Soal dana, masak harus dibiayai oleh asing,” katanya.
Sedangkan Mahkamah Agung pimpinan Bagir Manan kecipratan dana sebesar US$ 20 juta. Bantuan meliputi perumusan undang-undang dan amandemen, modernisasi administrasi pengadilan, komputerisasi sistem informasi, serta pelatihan. Mahkamah Agung (MA) dan Pemerintah AS kemarin (26/7) menandatangani nota kesepahaman mengenai bantuan untuk melaksanakan Program Pembaruan Pengadilan Khusus. Bantuan yang diberikan melalui The United States Agency for International Development (USAID) nilainya mencapai US$ 20 juta.
Dalam acara penandatanganan bantuan tersebut, MA diwakili oleh ketuanya, Prof. Dr. Bagir Manan dan Hakim Agung Paulus Effendi Lotulung sebagai Ketua Tim Pembaruan MA. Sementara, Pemerintah AS diwakili oleh Duta Besar (Dubes) AS untuk Indonesia B. Lynn Pascoe dan Direktur USAID Indonesia William Fred. Bantuan ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah AS sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Hibah untuk Sasaran Strategis yang ditandai. Secara spesifik, bantuan ini akan meliputi perumusan undang-undang dan amandemen, modernisasi administrasi pengadilan, komputerisasi sistem informasi, serta pelatihan.
Dalam dinamika pasar industri terorisme, kepolisian dan aparat hukum di Indonesia, secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri memposisikan diri sebagai broker atau makelar, dan menjadikan aktivis Islam sebagai korbannya. (Risalah Mujahidin Edisi 7 Th I Rabiul Awal 1428 H / April 2007 M, hal. 16-19)
Kepolisian Indonesia, dianggap lembaga keamanan yang paling banyak meraup untung dari program anti teror ini. Barangkali, dari keuntungan ini pulalah polisi dapat membantu keluarga para teroris, sebagaimana diungkapkan Direktur I/Kantramas Mabes Polri, Brigjen Pol Surya Darma, sebagai balas budi atas jasa para terpidana teroris itu.
Brigjen Pol Surya Darma terus terang mengakui bahwa,“Selama ini polisi justru sering membantu keuangan keluarga para terpidana teroris. Uang itu, kata Surya, ada yang digunakan untuk bayar uang sekolah anak-anak, buka usaha dan lain-lain. Jadi, polisi yang sering dibilang thaghut itulah yang justru banyak membantu kehidupan para keluarga teroris. Biaya yang dikeluarkan polisi untuk melakukan ‘pembinaan’ kepada para terpidana dan keluarga teroris dalam sebulan bisa mencapai ratusan juta rupiah.” (Sabili, 8/3/2007).
Mengingat derita para keluarga terpidana kasus teroris, memang pantas mereka diberi bantuan. Masalahnya, apa dasar hukum yang digunakan kepolisian untuk menyantuni keluarga para terpidana teroris yang sekarang sedang meringkuk di penjara? Bila yang dijadikan dasar pertimbangan adalah moral dan rasa kemanusiaan, maka pelaku pidana korupsi atau kriminal yang dipenjarakan, keluarganya juga berhak mendapatkan santunan serupa. Sebab, rasa kemanusiaan juga menuntut adanya perlakuan yang adil guna meringankan beban keluarga para terpidana itu.
Pertanyaan yang tidak kalah pentingnya adalah sumber finansial. Kepolisian menyantuni keluarga terpidana teroris, sumber dananya dari mana? Apakah berasal dari dana kepolisian sendiri atau APBN, atau bantuan negara yang sedang memerangi teroris? Jika bersumber dari dana kepolisian, atau APBN, apakah DPR menyetujui bila negara membiayai kehidupan keluarga mereka yang dianggap musuh negara itu?
Deradikalisasi Terorisme
Dr. Petrus Reinhard Golose dalam buku yang baru diterbitkannya, memberi solusi cara mengatasi terorisme, yakni melalui 3 pendekatan -  (1) Humanis (2) Soul Approuch dan (3) Menyentuh Akar Rumput. Pendekatan humanis, artinya polanya haruis tetap mengedepankan aspek HAM. Soul Approuch berarti adanya pola kemitraan dalam penegakan hukum baik dikalangan para penegak hukum maupun dengan aparatur pemerintah (birokrasi). Sedangkan bersifat menyentuh akar rumput artinya, masyarakat diajak untuk memahami berbagai banyak kultur (multikultur), budaya dan agama. Karenanya sedapat mungkin masyarakat harus mengakui dan menerima paham multikulturisme.
Semua pendekatan ini sangat indah dalam tataran teori. Namun setidaknya setiap muslim harus cerdas dan melihat tidak berdasarkan ide permukaan semata.  Mengapa ide  ini mengemuka sekarang dan ditujukan kemanakah ide ini ? Pastinya kepada anak  bangsa. Dan secara spesifik kepada orang Islam Indonesia ! Kenapa spesifik buat mereka, karena terorisme telah berhasil dicitrakan sebagai bagian dari ajaran Islam.
Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin berpandangan, bahwa meskipun dalam pidato kenegaraan menyambut delapan windu (64 tahun) kemerdekaan RI, 16 Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan, bahwa sumber terorisme adalah keterbelakangan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Presiden SBY sama sekali tidak menyinggung keterlibatan kelompok agama tertentu, atau ajaran agama tertentu sebagai pemicu terorisme di Indonesia.Sekalipun terkesan menghindar dan berhati-hati, untuk tidak mengaitkan agama dengan terorisme, tapi kita dapat memahami arah pidato SBY. Yaitu, adanya keinginan pemerintahan SBY lima tahun ke depan, untuk menjalankan politik yang lebih bersahabat dengan seluruh komunitas agama di Indonesia, sekalipun terhadap komunitas agama yang dinilai fundamentalis. Namun, berbeda dengan SBY, adalah komentar aparat intelijen, termasuk komentar tokoh-tokoh Islam ambivalen. Munculnya para jawara intelijen akhir-akhir ini, seperti Amsyad Mbai, Hendropriyono, dan Suryadarma, yang menuding pemahaman keagamaan sebagai ideologi terorisme, bukannya membantu menyelesaikan masalah terorisme. Sebaliknya, patut dicurigai mereka sedang menjalankan agenda global sebagai kaki tangan imprialisme asing. Bukan mustahil, dengan menggunakan momentum pemberantasan terorisme mereka berupaya menutupi ‘aib masa lalunya’ yang kejam terhadap gerakan Islam dengan cara menyisipkan fitnah. Akibatnya, apa yang selama ini dianggap bahaya jalan sesat para teroris karena menggunakan ajaran agama sebagai justifikasi tindakannya, justru aparat keamanan melakukan kesesatan yang sama.
Irfan S Awwas mencurigai adanya memfitnah agama Islam dengan mengaitkan terorisme dengan kekuatan penegakan syariat Islam di Indonesia, lalu menganggap mujahid Islam sebagai teroris atau sebaliknya memosisikan teroris sebagai mujahid. Ini adal;ah pemikiran produk rezim Soekarno (1959-1966) yang kental dengan agenda komunisme. Kebencian PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadap Masyumi, mendorong mereka terus menerus memberikan citra buruk tentang Islam melalui opini Soekarno.
Rezim Soekarno dengan Nasakomnya adalah contoh klasik yang mengorbankan umat Islam untuk kepentingan komunis global di zamannya. Sehingga menyebabkan ulama dan tokoh Islam banyak yang dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan.
Kemudian rezim berganti. Soeharto naik tampuk kekuasaan, yang membantai umat Islam seperti kasus Priok, Lampung berdarah, dan DOM di Aceh. Baik rezim Soekarno maupun  Soeharto selalu megusung slogan kepentingan nasional dan pengukuhan NKRI yang tidak dapat di tawar-tawar. Logika Sokaerno dan Soeharto dengan sedikit polesan gincu tetap berjalan di masa orde reformasi ini.
Boleh jadi pandangan Irfan keliru, namun beberapa fakta terakhir ini memang membingungkan. Berapa banyaknya terjadi tawuran antar sekolah di Jakarta. Nama sekolah dan frekwensi tawurannya-pun tidak terhitung dengan korban bukan saja materi tapi juga nyawa. Tapi adakah tindakan aparat untuk melakukan investigasi tentang bagaimana guru mengajar anak-anak didiknya, untuki mencari tahu apakah ada yang salah dalam hal pendidikan mereka ? Lalu mengapa ketika seorang atau beberapa gelintir teroris berasal dari pesantren, maka semua pihak merasa perlu melakukan investigasi dan pemantauan terhadap pesantren. Bahkan bukan hanya terhadap pesantren dimana mereka menjadi alumninya, bahkan pendidikan di semua pesantren perlu diteliti, dicermati atau dikaji ulang. Seolah guru di pesantren telah salah mengajarkan agama.
Berapa banyak pemimpin dan birokrat yang terbukti koruptor, namun adakah latar belakang kehidupan mereka, silsilah keluarga mereka diteliti. Pernahkah diungkapkan mereka dari alumnus pendidikan mana ?
Bagaimana sikap pemerintah atas tumbuh suburnya aliran sesat di Indonesia. Meski mendapatkan tekanan yang intensif dan bersifat massal, ternyata pemerintah sama sekali tidak bisa bersikap tegas. Lalu, ketika segelintir masa terluka akibat pristiwa Monas, sikap pemerintah justru sangat reaktif, cepat dan tangkas. Ada apa ?
Mengapa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selalu berteriak jika TV menunjukkan adegan kekerasan dalam tayangannya, namun mendadak diam dan membiarkan saja adanya penayangan adegan kekerasan pada saat  penggerebekan dan penghancuran rumah yang diduga teroris. Media begitu bersemangat menyiarkannya secara langsung.  yang kemudian memperlihatkan heroisme kepolisian saat pengepungan di Temanggung, dan tembak mati tersangka teroris di Jati Asih, Jawa Barat, tidak tanggung-tanggung, semua live ?
Dimanakah keberadaan gerakan LSM yang begitu peduli HAM, penjunjung Demokratisasi atau pengusung Gender itu berada, tatkala banyaknya anak perempuan di bawah umur menikah di bawah tangan ? Kok, tiba-tiba melek dan berapi-api saat membicarakan Syeikh Puji ?
Deradikalisasi Terorisme ; Strategi baru membungkam ummat Islam ?
Jika mengamati “kepedulian tinggi” mass media baik cetak maupun elektronik, khususnya jika itu menyangkut Islam, kita menjadi curiga ! Di negara Pancasila ini  kita tidak diijinkan menyinggung masalah SARA (Suku, Agama dan Ras). Tetapi jika perbuatan itu dilakukan oleh orang Islam, maka secara gamblang kita boleh menyebut Islamnya, nama lembaga Islamnya, dan bahkan menyebut-nyebut keluarganya Tentu saja ini pengecualian, karena setiap prilaku buruk yang dilakukan pejabat atau aparatur penegak hukum atau komunitas agama lain, kita dengan santun berkata itu adalah perbuatan “oknum”. Kasus terbunuhnya Ketua DPRD Sumatera Utara oleh demonstran adalah contoh, dimana gerakan yang didukung Nasrani itu, tidak boleh disebut sebagai ‘peristiwa sara”.
Artinya, hanya agama Islam yang boleh diobok-obok. Islam harus terbuka, Islam harus lebih menonjolkan diri sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Ungkapan ini  sekaligus menunjukkan bolehnya tuntutan diajukan kepada ummat Islam. Kenapa tuntutan itu tidak pernah terdengar kepada ummat agama lain ? Adakah ini bukti bahwa orang Islam Indonesia harus bersedia mengikuti aturan main dan tidak boleh memainkan aturan mainnya sendiri.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. Qs.(2) Albaqarah : 120
Dan  mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Qs. (2) Albaqarah : 217)
Hari orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi orang kepercayaanmu orang-orang yang dan di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. (Ali Imran (3) :118).
Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. (Ali Imran (3) :118).
Sebagai muslim, maka ide yang tertuang dalam buku Deradikalisasi Teroris, patut dicermati dan apresiasi ditinjau dari dua aspek :
Aspek Ide. Pastinya buku lahir atas maraknya terror di Indonesia. Untuk hal ini, maka semua kita mesti melihat buku ini sebagai upaya bersama kita untuk memberantas terorisme. Untuk dan atas nama kepentingan ummat dan bangsa, kaum muslimin hendaklah mendukung, menyambut  dan mensosialisasikan ide yang cemerlang sebagaimana terdapat dalam buku Dr. Petrus ini.
Aspek Motivasi. Bahwa jika motivasi dikeluarkannya ide dalam buku ini adalah untuk kebaikan dan kebangkitan bangsa dan keterbebasan bangsa dari tekanan terorisme, maka sekali lagi kaum muslimin layak memberikan support yang paling maksimal agar program-progran anti terorisme (deradikalisme teroris) dapat berjalan dan sukses.
Aspek Politik. Bahwa jika semua isu yang dikembangkan didasari sebuah upaya untuk mendiskreditkan ummat Islam. Bahwa jika ini adalah sebuah strategi untuk membuat kaum muslimin menjadi terbungkam atau mandul. Bahwa jika deradikalisasi terorisme hanyalah sebuah “cara” untuk membuat ummat Islam dipojokkan dan dihakimi – maka semua ide dalam buku ini mesti disikapi secara kritis dan mendalam. Semua kaum muslimin mesti tidak boleh mempercayakan begitu saja ide-ide ini berjalan, melainkan harus diikuti saat ia diaplikasikan di masyarakat luas.
Melawan Teroris : Mungkinkah… ?
‘Eks Teroris Jangan Dibiarkan Bebas’ INILAH.COM, Depok – Para mantan terpidana teroris terbukti masih setia membantu jaringannya dalam melakukan aksi teror. Karena itu polisi disarankan untuk membiarkan eks teroris tersebut berkeliaran bebas tanpa pemantauan. “Orang yang telah bebas karena tindakan terorisme harus diawasi bukan hanya satu tahun, tapi misalnya lima tahun,” imbuh Direktur Internasional Crisis Group Sidney Jones dalam diskusi peluncuran buku ‘Deradikalisasi Terorisme’ di FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (20/8).
Menurut dia, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah para eks teroris tersebut mengikuti program lapor dalam rentang waktu yang ditentukan pihak kepolisian. Selain itu, intelijen kepolisian juga tidak membiarkan mereka bergerak leluasa tanpa pemantauan. “Ini penting karena mereka mungkin akan kembali lagi walau minimnya peran. Apakah mereka akan kembali pada jihad?,” tanya Sidney yang juga pengamat terorisme ini.
Dr Petrus Reinhard Golose, salah seorang dosen luar biasa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, untuk menulis suatu program tentang deradikalisasi terorisme. Program deradikalisasi terorisme sendiri merupakan salah satu program yang dinilai dapat membantu upaya pemberantasan terorisme. “Sebab, bagaikan membersihkan rumput ilalang walau sudah ditebas dan dibakar akan tumbuh kembali dengan cepat, pemberantasan terorisme harus dilakukan sampai ke akar-akarnya dan harus pastikan tidak ada yang tertinggal,” ujar Petrus dalam sambutannya di acara peluncuran buku Deradikalisasi Terorisme di Gedung F FISIP Universitas Indonesia, Depok, Kamis (20/8).
Memberantas terorisme adalah dengan menjadikan terorisme sebagai musuh bersama. Dan menjadikan teroris sebagai musuh bersama hanya akana mungkin bila kita anak bangsa mengakui eksistensi Islam di negara yang berdaulat ini. Karena menafikan peran  muslim Indonesia sebagai “penentu kemenangan dan pembawa kemerdekaan”, adalah tindakan terror juga.  Menyudutkan Islam dan apalagi memojokkannya, bukan saja kita akan gagal membrangus terorisme, akan tetapi kita sedang membangun tumbuhnya teroris teroris baru. Teroris ini bukan lahir karena uang dan jabatan, melainkan karena keyakinan : hidup harus mulia atau lebih baik mati sebagai syahid.
Melihat sikap yang dipertontonkan penguasa, maka menjadi sebuah pertanyaan besar. Adakah Islam teroris atau justru Islamlah yang tengah diteror. Sikap kaum muslim (tak terkecuali mereka yang menjadi rakyat, penguasa, poilisi atau cerdik cendekia) begitu menyedihkan. Adakah kita berilmu agama teramat dangkal, hingga begitu bernyali memojok agama dan menjadikannya sumpah serapah ? Jika demikian, maka semoga Allah mengampuni dosa mereka dan memberi mereka petunjuk. Dunia ini… adalah fana ! Jabatan itu, berjangka. Pertemanan itu berbatas jua akhirnya. Allah abadi, maka tatkala ia menciptakan hamba-Nya, maka hamba pasti juga akan abadi. Kematian hanyalah perpindahan alam kehidupan, maka apa yang pernah dibangun dan dibanggakan, apa yang pernah dikerjakan dan dipertaruhkan, semua kelak akan dimintai pertanggung jawaban.
Jika sikap tersebut lahir dari pengetahuan agama yang cukup, adakah saudara kita itu  pernah duduk sejajar dengan mereka yang dakui “faqih” dalam agama  (ulama) ? Dimana mereka dan para ulama membahas dan mendebat tentang hal pemahaman agama ? Adakah mereka menguasai tafsir, berkemampuan baik dalam Bahasa Arab, atau berasal dari perguruan tinggi agama yang di akui oleh para ulama  internasional ?  Jika itu tidak  mengapa sebegitu mudahnya memberi saran agar mereka yang berpakaian aneh, berjenggot, atau prilaku sunnah  justru harus di awasi dan dicermati. Apakah gelar DR, Phd, Prof atau ketinggian pangkat mereka adalah sebab penguasaan ilmu mereka terhadap ajaran Islam.Jika bukan karena bobot ilmu agama yang mumpuni, mengapa mereka berani memberi stigma yang buruk terhadap mereka yang berlatar pendidikan pesantren, seolah menurut mereka para ustadz atau ulama para santri telah salah memberi pelajaran tentang Islam.
Membiaskan isu terorisme kepada Islam, kita pasti akan kalah ! Karena pembiasan itu sendiri justru telah menunjukkan fakta yang bahwa sebenarnya Islam bukanlah teroris, melainkan Islam tengah diteror. Berani menteror Islam, siapapun itu, ia berarti telah menjadi  teroris. Alih-alih memberantas terorisme, bangsa ini justru tengah menciptakan terorisme-terorisme baru… !



Posted on 27 Agustus 2009
Penulis,
Muhammad Nasir Siregar alias Sayonara Siregar
Tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar