Senin, 16 Januari 2012

Kekerasan, Korupsi, dan Pendidikan


E-mailPrintPDF
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo
Dua hal yang disorot secara tajam oleh media massa hingga di ujung akhir tahun 2011, yaitu tentang kekerasan dan korupsi. Jika direnungkan secara mendalam, dua hal tersebut sebenarnya tidak lepas dari pendidikan. Banyak orang sudah sangat paham bahwa tugas penting pendidikan di antaranya adalah untuk membangun watak atau karakter manusia. Orang-orang yang berpendidikan diharapkan berperilaku santun, saling kasih mengasihi, jujur, menghormati orang lain, sehingga tidak akan berperilaku sembarangan semisal korupsi dan melakukan kekerasan yang membahayakan dirinya sendiri dan keselamatan orang lain.
Berperilaku keras hingga mengancam keselamatan orang lain adalah hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpendidikan. Pendidikan dijalankan untuk menjadikan orang berbudaya dan beradab. Oleh karena itu tatkala seseorang berperilaku tidak sewajarnya dan apalagi hal itu terjadi di mana-mana, hingga semua itu mengakibatkan orang lain celaka dan bahkan berakibat mati, maka wajar manakala orang mempertanyakan kualitas pendidikan selama ini.
Seharusnya pendidikan mampu melahirkan orang jujur, bisa memegang amanah, dipercaya, tidak merugikan terhadap orang lain, dan seterusnya. Oleh karena itu ketika banyak terjadi kasus-kasus korupsi yang hal itu dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan, maka lagi-lagi pendidikan perlu dilihat kembali. Kenyataan seperti itu menjadikan orang kemudian mengatakan, bahwa pendidikan selama ini masih gagal. Pendidikan baru menghasilkan orang cerdas dan terampil, tetapi belum menyentuh aspek yang lebih penting, yaitu membangun watak, akhlak mulia atau karakter. Kekerasan dan korupsi yang sedemikian membudaya adalah di antaranya disebabkan oleh pendidikan yang dijalankan selama ini belum membuahkan hasil yang menggembirakan.
Pelaksanaan pendidikan selama ini, jika dilihat dan direnungkan secara mendalam, rasanya memang belum menyentuh inti persoalan yang sebenarnya. Isu-isu pokok yang dikembangkan belum menyentuh inti atau hakekat pendidikan, melainkan baru terkait dengan persoalan yang sifatnya sebagai variabel pelengkap. Perbincangan tentang pendidikan selama ini hanya menyangkut tentang persoalan penyediaan dana, sarana dan prasarana pendidikan, tunjangan guru, ujian nasional dan sejenisnya. Persoalan itu adalah penting. Akan tetapi, inti persoalan pendidikan sebenarnya bukan terletak di sana. Pendidikan adalah membangun bangsa Indonesia secara utuh dan menyeluruh, untuk mengantarkan agar bangsa ini menjadi kokoh, utama, berperadaban unggul dan mulia. Itulah sebenarnya yang menjadi tugas pendidikan.
Selama ini, para pejabat yang bertanggung jawab di bidang pendidikan belum memiliki wacana tentang pendidikan secara menyeluruh dan mendasar. Sementara ini perbincangan tentang pendidikan hanya berada pada tataran teknis semisal tentang anggaran, perbaikan gedung dan ruang kelas, beasiswa, gaji guru dan sejenisnya, sehingga tatkala dihadapkan persoalan besar yang berbuansa filosofis, tidak segera tanggap. Hal itu berlangsung hingga kini, sehingga tampak, dari para pejabatnya masih sibuk mengurus ujian nasional, ujian masuk perguruan tinggi, anggaran, mengurus gedung sekolah yang roboh dan serupa itu. Pemikiran besar tentang pendidikan dalam kaitannya dengan persoalan bangsa pada saat ini dan apalagi masa depan, masih luput dari perhatian.
Akibatnya, mengurus pendidikan seolah-olah sama artinya dengan mengurus uang, mengurus gedung sekolah, mengurus ijin program studi baru, sertifikat dan sejenisnya. Padahal aspek penting dari pendidikan adalah menjadikan orang semakin berkualitas, beradab, dan berbudaya. Mengurus hal-hal yang teknis bukanlah tidak penting. Semuanya itu adalah perlu. Akan tetapi, persoalan teknis dan temporal, tidak boleh menyebabkan aspek-aspek yang lebih pokok dan mendasar terlupakan. Sepanjang saya terlibat dalam pembicarakan tentang pendidikan, saya selalu sedih, sebab waktu yang berharga hanya habis untuk memperbincangkan soal-soal yang terkait dengan anggaran, kurikulum, ujian dan sejenisnya itu.
Setelah sekian lama kebijakan pendidikan dijalankan, hasilnya secara formal meningkat, misalnya hasil ujian biologi, kimia, fisika, sosiologi, ekonomi, dan lain-lain meningkat, tetapi apa artinya semua itu manakala para lulusannya masih terlalu dekat dengan hal-hal yang tidak terpuji, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan dan bahkan masih disempurnakan oleh pengangguran yang semakin membengkak. Pendidikan bukan hanya sebatas ingin mengeluarkan angka-angka dalam raport dan juga ijazah, melainkan dimaksudkan agar berhasil mengantarkan dari generasi ke generasi mampu menjalni hidup yang semakin berkualitas. Wallahu a'lam
Penulis adalah Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar