muhammadiyah sebagai gerakan
Islam yang menekankan amar makruf nahi mungkar telah berkiprah dalam rentang
waktu satu abad. Dengan masa sepanjang itu, Muhammadiyah sudah melewati
berbagai tahapan atau periodisasi zaman di Indonesia. Dari mulai zaman penjajahan
(1912-1945), zaman kemerdekaan (1945-1950), zaman Orde Lama (195a 1966), zaman
Orde 8aru (1966-1998). dan zaman Reformasi (1998-sekarang). Masa-masa tersebut
dilalui Muhammadiyah dengan sangat dinamis. Jika pada awal berdiri,
Muhammadiyah hanya fokus pada persoalan pemurnian agama, karena realitas
masyarakat yang banyak melakukan taklid, bidan, dan khu-farat. Maka, di zaman
penjajahan juga terdapat pandangan perlwanan terhadap penjajah. Sementara pada
masa awal kemerdekaan, banyak di antara tokoh Muhammadiyah yang berperan dalam
mempersiapkan kemerdekaan bangsa ini.
Di saat Orde Lama berkuasa,
Muhammadiyah secara perlahan mulai ikut terlibat dalam kegiatan politik
praktis. Terseretnya Muhammadiyah pada politik praktis karena Muhammadiyah
menjadi anggota istimewa dalam Partai Masyumi. Sementara di bawah kekuasaan
Orde Baru, kiprah Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan berjalan
statis. Hal ini disebabkan kuatnya tekanan pemerintahan rezim Orde Baru yang
mampu mengebiri gerakan-gerakan organisasi masyarakat (ormas), termasuk
Muhammadiyah.
Saat Orde Baru tumbang pada
1998, Muhammadiyah mengambil peran yang amat vital. Gerakan reformasi yang
digagas oleh sejumlah elemen masyarakat, telah memunculkan figur Muhammadiyah,
Amien Rais, sebagai aktor reformasi. Namun, di era reformasi yang mengusung
kebebasan berpendapat, masih banyak kalangan menilai ide-ide dan suara
Muhammadiyah justru tidak tampak di permukaan.
Dalam tulisannya yang
berjudul "Etos Pembaharuan Kyai Ahmad Dahlan", guru besar UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta Prof Abdul Munir Mulkan mengungkapkan, saat ini
Muhammadiyah hanya sekadar meniru Kiai Ahmad Dahlan, tanpa tahu gagasan dan
etos gerakannya. Kebesaran Muhammadiyah sebagai organisasi kini mengarah pada
rutinitas semata, serta tidak dapat dilepaskan dari pengulangan-pengulangan
gagasan sebelumnya.
Jika mengacu pada gagasan KH
AR Fachrudin dengan istilah Islam yang menghidupkan seharusnya Muhammadiyah
mampu berkontribusi di negeri ini. Namun, yang berlangsung saat ini adalah
pemikiran Muhammadiyah yang terkesan tidak membumi lagi. Gerakan amaliyah yang
digalakkan Kiai Dahlan kini tampak eksklusif, hanya dirasakan langsung oleh
kader-kader Muhammadiyah.
Mengenai hal ini. Ketua PP
Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, saat ini gerakan Muhammadiyah sebagai
organisasi pembaruan telah mengalami kemunduran. Sebab, banyak kecenderungan
pergerakan yang berjalan di tempat. Padahal, ungkapnya, sebagai suatu gerakan
organisasikemasyarakatan, Muhammadiyah seharusnya memberikan pemikiranke depan.
Kemunduran yang berlangsung
di tubuh Muhammadiyah saat ini, dinilai Haedar, juga tidak terlepas dari
kurangnya para kader dan generasi penerus Muhammadiyah dalam meneladani
generasi pendahulunya. "Usulan Buya Hamka tentang-majelis tarjih dan
kebebasan berpikir perlu dipertimbangkan lagi," ujarnya saat peluncuran
dan bedah buku Haedar Nashir yang berjudul Muhammadiyah Gerakan Pembaruan di
Jakarta, akhir April lalu.
Sementara dalam pandangan
Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Bachtiar Effendy, peran sosial ormas Islam
seperti
Muhammadiyah saat ini
mengalami penurunan. Penurunan ini akibat pengurus ormas terjun ke ranah
politik. Pada masa Orde Baru, saat organisasi keagamaan dilarang berpolitik,
justru banyak madrasah, pesantren, serta rumah sakit yang dibangun Muhammadiyah.
Sementara pada masa sekarang, tak ada satu pun yang mereka bangun yang
merupakan amal keagamaan. Kalaupun ada, menurut Bahtiar, hanya melanjutkan apa
yang sudah ada.
Bachtiar mengungkapkan, pada
masa pemerintahan Soeharto, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Muhammadiyah masih mempunyai nilai tawar sangat besar. "Meski
bersikap oto-riter, pemerintahan Orde Baru saat itu selalu mempertimbangkan
Muhammadiyah," katanya.
Kondisi sebaliknya justru
terjadi di masa sekarang. Menurut Bahtiar, pandangan-pandangan pemuka agama,
baik dari Muhammadiyah maupun organisasi Islam lainnya, sekarang ini tak
terlalu diperhatikan pemerintah.
Ia mengatakan, untuk
mengembalikan fungsi organisasi keagamaan pada fitrah-nya, para pemuka agama di
organisasi keagamaan jangan terlibat politik praktis. Sebab, Muhammadiyah
merupakan representasi organisasi keagamaan Islam di Indonesia yang secara
historis telah memiliki kedekatan dengan masyarakat. Maka, diharapkan,
Muhammadiyah kembali fokus pada masyarakat.
Menurut cendikiawan Muslim
Indonesia, Dawam Rahardjo, saat ini Muhammadiyah belum mampu mengembangkan
sepenuhnya ajaran pendirinya, KH Ahmad Dahlan.
"Dalam kurun waktu 10
tahun terakhir, ajaran pendiri Muhammadiyah seperti tauhid sosial, tak berkembang,"
ujar Dawam saat peluncuran buku Satu Abad Muhammadiyah, Mengkaji Utang Arah
Pembaruan, Kamis (1/7) di Yogyakarta.
Menurutnya, tauhid sosial
yang terdiri atas dua pilar, yakni dimensi hubungan Tuhan dengan manusia, dan
manusia dengan sesamanya yang diwujudkan dengan amal perbuatan, mulai
kehilangan rohnya. Karena itu, kata dia, Muhammadiyah harus segera melakukan
evaluasi agar tak terjerumus pada fundamentalisme dan puritanisme. nidia z,
yulianlngslh. ad syahruddln e
Tidak ada komentar:
Posting Komentar