Selasa, 17 Januari 2012

DEMOKRASI, STABILITAS DAN KESEJAHTERAAN


Ditulis oleh M. Sadli   
Senin, 27 Pebruari 2006
(Business News, Senin, 20 Februari 2006)

Minggu yang lalu ada suatu adu pendapat yang sangat menarik dan yang berkualitas tinggi.  Dua tokoh pimpinan nasional, yakni Amien Rais dan Jusuf Kalla, melemparkan masing-masing visi mengenai demokrasi, stabilitas politik dan ekonomi, dan dampaknya kepada kesejahteraan rakyat.  Amien Rais bicara sebagai tokoh masyarakat dan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden.  Kepentingan masing-masing lain.

Amien Rais mengeritik DPR kurang berfungsi sebagai pengawas eksekutip.  Terlalu akomodatip terhadap pemerintah. Amien Rais menganggap sangat penting adanya checks-and-balances pada demokrasi politik.  Sebagai contoh, DPR tidak bersikap kritis terhadap usaha pemerintah menjual banyak BUMN kepada asing. Ia mengaku khewatir masa depan bangsa ini jika BUMN-BUMN itu dibiarkan beralih ke pemilikan pihak asing.

Di lain fihak, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluh, pemerintah jangan disalahkan melulu, seolah-olah tidak pernah berbuat hal yang baik, dan selalu dijadikan sasaran kritik.  Menurut Wapres, perkembangan demokrasi sejak arus reformasi bergulir pada tahun 1998, telah membukakan banyak kesempatan untuk berdialog terbuka tentang berbagai hal, mengoreksi apa yang salah, serta makin bertumbuhnya budaya kritik.  “Namun, sejumlah kalangan telah mengertikan demokrasi sebagai ajang untuk saling mengeritik dan menjatuhkan, sehingga kesan kuat yang muncul, yakni apa pun yang dilakukan pemerintah, pasti selalu salah.  Kita dipersalahkan karena menaikkan harga BBM, tapi bagaimana kita memperoleh biaya untuk membangun bangsa ini kalau tidak mengambil kebijakan itu?  Kita dipersalahkan karena memprakarsai MoU damai RI-GAM, tapi apakah dibenarkan kalau kita membiarkan sesama saudara terus berperang dan memakan banyak korban jiwa”, tukas Wapres.

Negara-negara Barat suka memuji bangsa Indonesia bahwa dewasa ini rakyatnya bisa hidup di alam demokrasi, yang jauh lebih baik ketimbang sistim otokratis di zaman Suharto.  Akan tetapi, bisnis Barat lebih suka pergi ke Cina dan menanam modalnya di situ karena dalam persepsinya Cina jauh lebih stabil dan aman.  Maka “Barat mempraktekkan standar ganda”.

Selama di era reformasi maka pembangunan ekonomi tetap berjalan akan tetapi laju pertumbuhan ekonomi tidak sampai bisa menyentuh 6% setahun, sedangkan di zaman otoriter Suharto telah mencapai rata-rata di atas 7% setahun.  Tetapi, apakah kita sebaiknya mengembalikan sejarah?  Karena sasaran akhir bukan demokrasi melainkan kesejahteraan rakyat.

Sesungguhnya, pertanyaan demikian retorik saja, karena suatu bangsa tidak bisa membalikkan sejarah.  Zaman Suharto juga merupakan hasil perkembangan sejarah sebelumnya.  Seorang diktator atau pemimpin kuat tidak timbul begitu saja.  Suharto pun “menjadi kuat” dalam sejarah kariernya setelah berhasil mendatangkan stabilitas politik dan pembangunan kembali ekonominya.  Susilo Bambang Yudhoyono sekarang bukan seorang pimpinan yang otokratik.  Bahkan sebaliknya, orang sekarang banyak mengeluh bahwa kepimpinannya kurang tegas. Karena kepemimpinannya kurang tegas maka seluruh sistim politik sekarang juga tampak tidak terlalu stabil, dan oleh karena ini maka investasi masuknya kurang.  Investor yang mencari kepastian dan stabilitas yang lebih besar pergi ke Malaysia, Vietnam, Cina dan Thailand.  Oleh karena itu laju pertmbuhan ekonomi di negara-negara itu juga lebih tinggi daripada di Indonesia.  Apakah Indonesia bisa memperbaiki kinerjanya?

Dengan demokrasi politik dan kepimpinan Presiden sekarang tidak mudah.  Tetapi mudah-mudahan dengan berjalannya waktu bisa diharapkan kemajuan.  Pertama, citra stabilitas politik, artinya masyarakat tidak meragukan lagi kelanjutan kepresidenan sekarang, bisa menjadi lebih baik.  Yang menjadi kesulitan operasional adalah menemukan sinergi antara kepribadian Susilo Bambang Yudhoyono, di satu fihak dan kepribadian wakil presiden dan para menteri kunci, di lain fihak.  Wakil presiden tidak bisa diganti, dan ia pun sebetulnya cukup pro-aktip dan lebih tegas daripada SBY.  Susunan kabinet adalah kelemahan Presiden.  Sebetulnya SBY harus merasa bebas untuk mengganti dan membentuk team kabinet yang lebih efektip.  Ia tidak hutang budi kepada partai-partai politik.  Malasahnya bagi dia adalah dukungannya di DPR kurang kuat.  Tetapi, ini tidak sejajar dengan observasi Amien Rais.  Maka seerti ada keganjilan.

Di bidang politik ekonomi personalia menteri kunci, terutama Budiono dan Sri Mulyani, sudah optimal.  Hanya mereka ini dicela karena kurang berani, misalnya untuk “ngemplang utang”. Tetapi, jalan keluarnya tidak mudah. Kinerja menteri ekonomi akhirnya tergantung dari efektivitas kepimpinan Presiden.  Maka untuk sementara waktu kemajuan akan bersifat gonjang ganjing, dengan laju pertumbuhan PDB di bawah 6% setahun. Sebagai gejala historis maka tingkat inflasi di Indonesia lebih tinggi daripada di negara tetangga ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. Mengapa?  Dan Apakah ini menguntungkan kehidupan serta pembangunan ekonomi?   Pada umumnya tidak.  Kinerja ekonomi dan laju pertumbuhan PDB di Thailand dan Malaysia lebih tinggi daripada di Indonesia.  Di Asia Tenggara Indonesia lebih mirip Filipina.  Inflasi di Filipina juga lebih tinggi (sedikit) daripada di Thailand dan Malaysia, dan laju pertumbuhan ekonomi Filipina juga di bawah Thailand dan Malaysia.
Kinerja ekonomi mana lebih baik, di Indonesia atau di Filipina?  Ini agak susah dijawab.  Mungkin Filipina lebih baik sedikit.  Filipina sesudah perang dunia kedua sudah mempunyai pendapatan per kapita yang lebih tinggi daripada kebanyakan negara ASEAN, akan tetapi sesudah itu di lampaui oleh Thailand dan Malaysia.  Sekarang pendapatan orang di Filipina mungkin masih lebih tinggi sedikit daripada di Indonesia, akan tetapi perbedaannya tidak banyak.  Filipina sering disebut “the sick man of Asia”, dan akar penyakitnya ada di struktur sosialnya.  Tetapi struktur sosial di Indonesia lain daripada di Filipina, yang dikuasai oleh sekelompok tuan tanah yang besar, antara lain keluarga Presiden. Mungkin kelebihan di Malaysia dan Thailand (dibandingkan Indonesia) adalah peran unsur penduduk Tionghoanya di perekonomiannya lebih besar.  Di Indonesia penduduk etnis Tionghoa juga menguasai ekonomi tetapi tidak punya pengaruh politik.  Di Indonesia politik ada di tangan penduduk golongan pribumi yang mayoritas.  Mungkin perbedaan ini menyebabkan kualitas politik ekonomi di Indonesia lain daripada di Thailand dan Malaysia. Maka mungkin juga akar inflasi yang tinggi ada di keadaan sosial-politik ini. 

Golongan pribumi adalah mayoritas akan tetapi yang berpendapatannya lebih rendah,  Salah suatu ciri orang miskin adalah punya nafsu mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan pendapatan riilnya.  Kalau masyarakat mau mengeluarkan uang lebih banyak daripada nilai produksinya maka harga-harga akan naik. Inilah sumber inflasi di Indonesia.

Inflasi di Indonesia di zaman Suharto pun lebih tinggi daripada di Malaysia dan Thailand, walaupun tingkat inflasi di zaman Suharto sudah jauh lebih rendah daripada di zaman Bung Karno.  Itu akibat perubahan policy dari team ekonomi yang dikendalikan oleh Prof. Widjojo dan Ali Wardhana.  Mereka berhasil mengurangi inflasi yang sebelumnya ratusan persen setahun dan merupakan runaway inflation.  Senjatanmya adalah balanced budget, anggaran pemerintah yang berimbang.  Rumus ini cukup berhasil.

Di zaman Orde Baru itu maka belum ada ketentuan bahwa Bank Indonesia mempunyai misi utama menjaga nilai rupiah, alias pengekangan inflasi.  Baru setelah Reformasi tahun 1998 ketentuan demikian dituangkan dalam undang-undang yang menjaga independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral.  Ini banyak membantu untuk mengurangi inflasi.

Apakah lalu kebijakan anggaran belanja pemerintah menjadi sumber inflasi?  In prinsip, tidak.  Karena prinsip anggaran belanja yang berimbang masih dipertahankan.  Akan tetapi, dalam praktek ini belum merupakan jaminan. APBN yang meningkat, walaupun tetap berimbang, dampaknya inflator. Prinsip anggaran berimbang tidak boleh dipegang terlalu kaku. Misalnya, akhir tahun 2005 ada kelebihan penerimaan besar karena sebagian subsidi BBM dihapus.  Jumlah ini lalu “dipaksakan” menjadi pengeluaran pemerintah atas nama anggaran yang berimbang.  Policy demikian ikut meniup inflasi.  Sebetulnya anggaran belanja pemerintah harus diperbolehkan mengumpulkan surplus yang dampaknya akan deflator.

Akan tetapi, selalu ada tekanan dari masyarakat agar pemerintah mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembangunan, atau untuk membantu sektor pendidikan dan kesehatan.  Di sinilah pemerintah terjebak “gejala orang miskin” yang selalu mau hidup di atas kemampuan penghasilannya.

Idée fix masyarakat adalah kalau pemerintah meningkatkan pengeluaranya untuk pembangunan maka laju pertumbuhan ekonomi akan naik. Ini salah pikir.  Yang lebih menentukan tingkat laju pertumbuhan ekonomi adalah total investasi di masyarakat, termasuk dari swasta dalam dan luar negeri. Jumlah ini tidak akan optimal kalau iklim moneternya serba inflator, yang mengganggu stabilitas ekonomi dan menambah resiko. 

Kemakmuran yang dibawa oleh inflasi adalah semu. Orang merasa lebih kaya oleh karena pegang uang lebih banyak.  Akan tetapi nilai uang merosot sehingga akhirnya orang atau masyarakat itu menjadi lebih miskin.Sektor pertambangan merupakan sektor ekonomi yang cukup penting. 

Sejak permulaan masa Orde Baru penanaman modal asing dirangsang masuk untuk eksploatasi sektor pertambangan ini.  Modal dalam negeri masih kurang tersedia.  Sampai sekarang hanya ada dua BUMN di bidang pertambangan yang cukup besar, yakni ANTAM dan perusahaan batu bara.  Perusahaan swasta dalam negeri yang besar yang terkenal sekarang hanya satu, yakni KPC (Kalimantan Pima Coal).  Perusahaan asing yang besar lebih banyak.  Yang terbesar adalah Freeport yang menambang tembaga dan emas di Papua, Inco yang menambang nikel di Sulawesi, Newmont Mining (emas) yang memiliki beberapa proyek besar juga.

Investasi asing per proyek sampai ratusan juta dolar.  Secara kumulatip proyek Freeport dan Inco masing-masing sudah menanam satu milyar dolar. Potensi pertambangan di Indonesia mempunyai ranking tinggi di dunia. Oleh karena itu investasi internasional tetap akan tertarik kepadanya, asal saja lingkungan untuk investasi menggairahkan.  Selama masa Orde Baru maka banyak perusahaan asing demikian masuk Indonesia, dan sekarang puluhan sudah mengantongi izin, walaupun jumlah yang sudah beroperasi masih terbatas.  Tetapi, sesudah 1997 praktis tidak ada investor baru yang masuk.  

Minggu yang lalu ada berita kecil di surat kabar asal Amerika Serikat, yakni Freeport McMoRan Copper and Gold Inc., pemegang saham terbesar PT Freeport, membagi dividend 50 dollarcent ekstra sudah tiga kali tahun ini.  Ini pertanda keuntungan PT Freeport besar sekali.  Berkat harga-harga nikel yang tinggi maka PT Inco juga meraih keuntungan yang lumayan.

Di lain fihak, di dalam negeri belakangan ini timbul sentimen yang serba nasionalis yang mempertanyakan apakah eksploatasi kekayaan tambang di Indonesia itu sudah sungguh-sungguh menguntungkan bangsa?  Amien Rais adalah salah suatu tokoh yang vokal.  Akan tetapi di DPR ada juga suara-suara yang senada.  Lagipula, sekarang ini banyak LSM yang menjadi pengeritik yang vokal terhadap perkembangan di bidang pertambangan.

Sebagian alasan mereka masuk akal.  Ekpsloatasi pertambangan sering tidak merupakan pandangan yang menyejukkan mata.  Pembuangan tailingsnya sering menimbulkan gambaran yang menyedihkan karena merusak lingkungan.  Mereka yang pernah terbang ke tambang Freeport di Papua, bisa menyaksikan sendiri dari pesawat terbang ketika mau mendarat di Timika.  Di lain fihak, baik perusahaan maupun kalangan pemerintah yang mengawasinya sudah mengadakan verifikasi dan kesimpulannya adalah bahwa tidak ada peraturan yang dilanggar.  LSM tidak begitu percaya, bahkan punya prasangka bahwa orang-orang pemerintah, saking getolnya merangsang penanaman modal asing, dan mungkin ada unsur perasaan minder terhadap asing, terlalu lemah sikapnya.  LSM juga menandaskan bahwa penduduk sekitar proyek, atau di wilayah proyek itu, tetap miskin.  Lihat saja penduduk asli di Papua, di Riau, Aceh dan Kalimantan Timur.  Ini masalah community development yang dulu, di generasi-generasi pertama Kontrak Karya, tidak khusus disebut sebagai tanggung jawab perusahaan.

Kontrak Karya sendiri sudah beberapa kali mengalami revisi dan perbaikan syarat untuk fihak Indonesia.  Kontrak Karya yang berlaku sekarang sudah generasi ketujuh. Kalau suatu PMA pertambangan minta perpanjangan KK yang lama maka harus tunduk kepada KK generasi baru.  Jadi ada kemajuan.

Mungkin, justru karena ada contoh-contoh proyek PMA pertambangan yang sukses, seperti Freeport, Inco dan Newmont, maka kritik dari masyarakat, baik masyarakat setempat maupun LSM nasional, menjadi semakin keras. Mereka itu mempertanyakan apakah syarat-syarat KK sudah wajar dan apakah pengawasan di lapang sudah efektip?  Kerusakan pada lingkungan dipandang kurang ada jaminan bahwa perusahaan akan memperbaikinya.  Kalangan DPR juga mulai aktip dan membuat suatu Panja untuk menyelidiki kontrak dengan PT Freeport.  Yang dicemaskan kalangan pemerintah adalah bahwa nanti ada tuntutan untuk renegosiasikan KK.  Ini bisa saja, akan tetapi harus ada kesepakatan dari kedua fihak.  Kalau ada pelanggaran kontrak (breach of contract) maka fihak asing bisa minta arbitrasi internasional.  Ini juga “ditakuti” oleh kalangan pemerintah karena bisa merusak citra investment promotion.  Bagaimana jalan keluarnya?  

Harus ada suatu “kompromis” berdasar saling pengertian.  LSM juga harus ingat bahwa eksplorasi dan eksploatasi pertambangan punya resiko besar.  Dari 100 kali eksplorasi hanya 4 yang akhirnya menjadi operasi tambang yang berhasil.  Maka investor juga layak mendapat keuntungan bagi investasi modalnya.  Initiatip panja DPR mungkin jalan terbaik. DPR adalah partner pemerintah dan dulu naskah KK dikonsultasikan dengan DPR.  Hasil dengan Freeport bisa menjadi contoh bagi proyek PMA asing yang lain. Demikianlah harapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada para menterinya agar bisa mengatasi berbagai permasalahan yang masih akan muncul di tahun 2006. Pertanyaan pertama adalah apakah harapan Presiden ini cukup realistik, ataukah sebetulnya lebih banyak retorika saja. Kesempatan untuk ngutak-ngutik APBN sudah sempit. Bagaimana di luar bidang ini, misalnya (inovasi) di sektor riil?
Persoalan pemerintah di bidang ekonomi di tahun 2006 masih cukup rumit walaupun tidak akan bersifat darurat.  Tindakan menaikkan harga BBM sebetulnya merupakan terobosan fiskal yang oleh kalangan luar negeri (yang tidak perlu ikut menanggung beban langsung) disambut sangat baik.  Bahkan kalangan internasional ini pada waktu ini optimis akan hari depan ekonomi Indonesia, walaupun diakui bahwa dua triwulan pertama keadaan masih berat dan rawan karena dampak tindakan drastik tahun 2005 itu.  Tetapi, menjelang akhir tahun tingkat inflasi bulanan akan menurun.  Anggaran belanja pemerintah hanya masih punya satu beban besar, yakni angsuran kembali utang-utang luar dan dalam negeri. Ancaman yang masih dihadapi adalah kalau harga minyak masih akan naik.

Maka pertanyaan berikutnya, dan yang sebetulnya sangat mengganggu Presiden, adalah, apakah di tahun 2006 masih diperlukan kenaikan lebih lanjut dari harga-harga BBM dalam negeri?  Jawabnya, “tergantung dari berapa kenaikannya”.   Kalau kenaikan harga tidak terlalu besar maka untuk sementara harga-harga BBM dalam negeri lebih baik tidak dinaikkan dan tambahan defisit dibiayai dengan cara lain.  Secara nominal maka pemerintah masih punya cadangan dana dari sisa anggaran tahun 2005 setelah harga BBM dinaikkan. Ini bisa dipakai untuk membiayai defisit tambahan.  Akan tetapi tentu ada batasnya, yakni jangan menimbulkan tekanan inflator.  Jalan kedua yang lebih aman adalah untuk mencari pinjaman baru.  Ini cara pembiayaan yang non-inflator.  Akan tetapi total utang meningkat lagi, yang menimbulkan beban di kemudian hari.

Beban angsuran utang biasanya diukur secara relatip yakni dibandingkan dengan “kemampuan ekonomi”, yang diukur dengan besaran PDB.  Maka keperluan penting adalah mengusahakan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar.  Laju pertumbuhan selama Orde Baru (mendekati 7% setahun) harus bisa dicapai. Ini bisa saja karena negara-negara seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Cina dan India, sekarang menunjukkan kinerja pertumbuhan di kisaran 7% setahun.  Kuncinya adalah investasi, terutama yang bisa mendukung ekspor.  Artinya, sektor riil harus digenjot.

Di Indonesia maka pemerintah sejak Megawati Soekarnoputri sudah berhasil menjaga kestabilan makro-ekonomi, yakni inflasi terkendalikan dan laju pertumbuhan PDB membaik ke arah 6% setahun.  Sekarang, Menko Perekonomian Boediono juga sudah bertekad, sambil menjaga stabilitas makro-ekonomi, untuk memperbaiki iklim investasi. Pekerjaan rumahnya juga sudah diidentifikasi, yakni perbaikan aturan di bidang perpajakan, perburuhan, pelaksanaan otonomi daerah, dan penegakan law-and-order. Agenda ini kiranya menjadi tugas utama pemerintah SBY-JK di tahun kedua.  Maka Presiden dan Wakil Presiden juga harus memainkan peranannya yang krusial, mendukung para menteri untuk berinovasi.  Sasaran-sasaran perbaikan iklim investasi tidak bisa dicapai oleh para menteri secara sendirian.  Menko Perekonomian harus mampu memberi pengarahan dan koordinasi dengan dukungan pimpinan negara.

Menteri (sektoral) yang paling penting untuk menanggulangi berbagai kesulitan adalah menteri keuangan.  Kalau harga minyak bumi naik terlalu banyak maka anggaran belanja pemerintah harus diamankan.  Walaupun kesempatannya sangat sempit, namun masih ada beberapa kemungkinan inovasi, antara lain, apakah beban angsuran utang masih bisa diringankan, apakah penerimaan dari pajak masih bisa dinaikkan, termasuk pajak dari kekayaan alam (migas dan kehutanan), apakah kebocoran dalam pengeluaran APBN masih bisa dikurangi.  Menteri Keuangan Sri Mulyani mempunyai kemampuan dan kesempatan yang optimal karena ia adalah ekonom yang handal dan menjadi kepercayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Harapan masyarakat adalah ia berani menjalankan reformasi di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk mengganti pimpinannya kalau hal demikian dipandang perlu sebagai pijakan reformasi.

Perubahan di undang-undang hubungan kerja secara politis memang sulit karena hak-hak buruh seolah-olah harus dipangkas agar majikan lebih bebas dan tidak menjadi terlalu mahal kalau mau restrukturisasi perusahaannya.  Maka ini bidang yang harus ditangani oleh seluruh pemerintah.  Demikian pula menata kembali hubungan pusat dan daerah. 
Indonesian Mining Association (IMA) adalah wadah bagi perusahaan-perusahaan asing dan nasional di bidang pertambangan umum. Direktur Eksekutipnya, Prio Prihadi, mengundang wartawan untuk minta perhatian akan iklim investasinya.  Judul editorial ini dikutip dari liputannya di s.k. Suara Pembaruan, Kamis, 17 Januari 2006. IMA ini juga mengusahakan agar bisa bertemu dengan Menko Perekonomian, Boediono. Bidang pertambangan ini juga mengalami publisitas yang merugikan setelah Amien Rais, politikus kondang, melemparkan tuduhan umum akan saratnya korupsi, terutama dalam kaitan dengan Kontrak Karya PMA.  Apakah ada juga sentimen baru anti asing karena PMA tampak dominan?

Potensi pertambangan di Indonesia sangat bagus, akan tetapi iklim investasinya sejak era reformasi pasca 1997 jauh lebih jelek dibandingkan Australia, Amerika Latin, dan Filipina. Iklim investasi di zaman Orde Baru (Suharto) diakui jauh lebih baik.  Mengapa sejak 1997/8 ada kemunduran?  Iklim politik di zaman Suharto sekarang digambarkan sebagai otoriter yang kurang memperhatikan kepentingan rakyat.  Sekarang segala macam kepentingan lebih banyak diperhatikan tetapi akhirnya investasi berkurang karena investor melihat terlalu banyak resiko dan ketidakpastian.  Barang-barang galian yang sangat penting (menurut nilai produksinya) adalah batubara, tembaga dan emas, nikel, dan timah.

Direktur Eksekutip IMA mengingatkan bahwa “Indonesia bakal kehilangan potensi pertambangan senilai lebih dari US$ 4 milyar tahun ini.  Dalam dua atau tiga tahun mendatang potensi kehilangan investasi itu akan lebih besar  hingga tiga kali lipat, karena sejumlah perusahaan tambang multinasional yang telah puluhan tahun beroperasi, berencana mengalihkan investasinya ke negara lain.  Nantinya hanya dua perusahaan besar, seperti Freeport dan PT Inco yang akan bertahan karena kebetulan kontrak karya yang dimiliki masih panjang”.  Ini statement yang agak berlebihan.  PT Inco tetap akan bertambang di Sulawesi, akan tetapi kalau proyek pembuatan dam di Karebe tidak cepat diizinkan (oleh Departemen Kehutanan) maka modal yang sudah disediakan bisa dipakai di lain tempat di luar negeri.  Rio Tinto sejak lima tahun mengajukan Kontrak Karya di Lasamphala Sulawesi, tetapi hingga kini belum ditanggapi pemerintah.

Potensi pertambangan Indonesia sangat baik, sehingga selalu akan menarik investasi.  Selama pemerintah Suharto policy pemerintah berbuat demikian.  Sejak era reformasi maka ada beberapa masalah yang mengganggu iklim investasi.  Kepastian policy tidak terang lagi.  Sering kali ada benturan kepentingan antara sektor pertambangan dan sektor kehutanan atau keperluan menjaga lingkungan hidup.  LSM lingkungan hidup pada umumnya tidak ramah terhadap pertambangan karena dianggap merusak lingkungan. Maka diperlukan sikap policy yang tegas, kepentingan mana yang (pada waktu ini) harus didahulukan.  Di Amerika dan Filipina maka ada ketegasan bahwa pertambangan harus didahulukan di mana potensinya memang terbukti. Di Indonesia lingkungan hidup dipandang lebih penting.

Di Indonesia sekarang memang sudah ada keputusan pemerintah yang menuju ke kompromis, yakni dengan peraturan Menteri Kehutanan maka 13 tambang (antara lain Aneka Tambang, Freeport dan Inco) dikecualikan.  Tetapi, jumlah perusahaan tambang yang sudah mengantongi izin tambang melebihi seratus, karena pada umumnya potensi tambang ada di bukit-bukit atau lereng bukti/gunung. Akibatnya adalah bahwa sejak 1998 hampir tidak ada eksplorasi baru.

Hambatan pada iklim investasi kedua adalah benturan kepentingan serta wewenang antara pemerintah pusat dan daerah.  Dulu investor pertambangan hanya berunding dengan pemerintah pusat. Dulu, investor membayar pajak kepada pemerintah pusat dan pemerintah pusat memberi bagian (terbesar) dari royalty kepada daerah (provinsi dan kabupaten).

Ditambah lagi, draf Rancangan Undang-Undang mengenai Mineral dan Batu Bara yang kini dalam proses pembahasan di DPR dinilai tidak berfihak pada investor. Sehingga dikhewatirkan akan memperburuk iklim investasi sektor pertambangan.  Wacana baru yang berkembang, misalnya, mau menghapuskan perbedaan antara investor asing dan dalam negeri.  Tetapi, penambang besar di Indonesia pada umumnya asing karena keperluan permodalan dan teknologi. Pada undang-undang yang berlaku, investor asing ini dijamin hak-haknya melalui kontrak (contract of work, COW).  Kalau COW ini nanti diganti oleh suatu “izin”, apakah jaminannya cukup?

Sementara ini bagi modal asing di pertambangan ada negara sasaran alternatip.  Mereka itu bisa pergi ke Cina, Vietnam, Filipina, P&G, dsb-nya.  Tetapi, Indonesia tetap menjadi incaran karena potensinya besar. Maka sebetulnya tidak terlalu sulit untuk bikin senang investor asing itu. Kalau kita mengamati masalah-masalah yang dihadapi Menteri Perdagangan sehari-hari maka kesan adalah bahwa ikhtiarnya mencari keseimbangan antara keperluan mendukung persaingan, dan mengakomodasikan sentimen-sentimen dalam negeri yang menghendaki proteksi, menyita banyak waktu dan fikiran, dan akhirnya tidak ada kalangan yang puas sekali.  Menemukan keseimbangan demikian senantiasa adalah sulit dan dilematis. Kalau kita mengambil posisi bahwa perekonomian kita harus bisa hidup dan berkembang di medan persaingan internasional maka daya saing perekonomian kita menjadi tarohan utama.  Tetapi mengapa kita harus memilih untuk main di medan permainan global?  Negeri kita cukup besar sebagai pasar untuk bisa mencari kehidupan di dalam negeri saja.  Itu memang bisa, akan tetapi konsekuensinya juga berat.  Negeri kita adalah besar dalam ukuran jumlah penduduk, akan tetapi kalau diukur dengan besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) maka perekonomian Indonesia relatip kecil.  Besar pasar lebih penting diukur dengan daya beli ketimbang besar penduduk.

Maka pasar dalam negeri saja tidak cukup untuk meraih pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi untuk memperbaiki keadaan sosial, terutama untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan.  Ekonomi Indonesia harus merupakan ekonomi terbuka, open economy (terhadap dunia).  Rumus pertumbuhan untuk ekonomi terbuka demikian adalah (menggenjot) investasi dan ekspor.  Akhirnya, hanya investasilah yang dapat menciptakan kesempatan kerja baru dan menambah pendapatan nasional. Karena Indonesia belum bisa menghasilkan alat-alat modalnya sendiri maka ini harus diimpor.  Juga banyak bahan baku untuk industri manufaktur masih harus diimpor.  Untuk menjamin dan meningkatkan kemampuan mengimpor demikian maka Indonesia harus mampu mengekspor dan setiap tahun kemampuan ekspor ini harus menjadi lebih besar.  Antara kebesaran-kebesaran impor, ekspor, investasi dan peningkatan produk nasional ada kaitannya, atau rasio.  Misalnya, laju pertumbuhan ekspor harus lebih besar daripada laju pertumbuhan ekonomi.  Kalau laju pertumbuhan PDB harus sekitar tujuh persen setahun maka idealnya laju pertumbuhan ekspor harus di atas sepuluh persen setahun.  Laju pertumbuhan sektor industri juga harus di atas laju pertumbuhan PDB.  Laju pertumbuhan ekspor dan laju pertumbuhan sektor industri manufaktur harus kira-kira sama besarnya, idealnya sekitar 10% setahun.  Di masa Orde Baru angka-angka ini kurang lebih tercapai atau didekati.  Sejak krisis besar 1998 angka-angka itu belum pulih.  Kenaikan ekspor dan sektor industri masih di bawah 10% setahun.

Maka “daya saing nasional” terutama untuk industri menjadi sangat penting.  Sayangnya, daya saing nasional itu juga mengalami penurunan sejak krisis besar.  Sekarang negara-negara yang sering dipuji dunia internasional adalah Cina, India dan Vietnam.  Indonesia masih bisa bertahan persaingan dengan Cina di pasar internasional, akan tetapi hanya dalam beberapa sub-sektor saja yang Indonesia masih punya keunggulan.  

Kenaikan ekspor (dan PDB) yang bagus di Cina, India  dan Vietnam didukung oleh besar daya saingnya dalam bidang-bidang yang mendasar.  Untuk India misalnya bidang IT (Information Technology), untuk Cina iklim investasi yang mampu menarik banyak sekali investor asing (Amerika, Jepang, dsb-nya).  Ekspor besar Cina ke Amerika Serikat datang dari ribuan perusahaan asing yang masuk Cina sebelumnya.  Vietnam sekarang unggul karena buruhnya rajin sekali, masih murah, suka kerja dan tidak pernah mogok.  Comparative advantage Indonesia pada dasarnya terletak pada supply tenaga kerja yang berlimpah, dan kekayaan alamnya.  Akan tetapi, sejak tujuh tahun yang lalu ini maka daya saing tenaga kerja Indonesia mengalami erosi.  Pasar tenaga kerja kehilangan fleksibilitasnya karena peraturan perundangan memberi proteksi yang terlalu besar kepada buruh.

Daya saing internasional Indonesia harus meningkat.  Ini adalah tugas utama pemerintah dalam jangka panjang.  Akan tetapi, di jangka pendek maka tuntutan proteksi besar dan secara politis dan sosial tuntutan demikian juga tidak bisa diingkari atau ditolak.  Maka pemerintah, khususnya menteri perdagangan, harus pandai mencari keseimbangan.  Di mana posisinya menteri tenaga kerja?  Apakah tugas utamanya harus memberi proteksi?  Ini tidak terang.  Akan tetapi, Menteri Perekonomian, dan akhirnya Presiden, harus menetapkan prioritas nasional, entah secara umum, atau kasus per kasus.  Contoh lain adalah di bidang pertambangan, yang prioritasnya sekarang digugat oleh gerakan lingkungan hidup.  Padahal pertambangan adalah bagian dari sektor kekayaan alam Indonesia yang punya keunggulan dan potensial sangat mampu ekspor.  Di Filipina maka Presiden menetapkan bahwa proyek pertambangan yang potensial harus didahulukan terhadap kepentingan lingkungan hidup.
Setiap kali menjelang akhir tahun kita mengharapkan tahun yang datang lebih baik.  Perkembangan tahun sekarang sungguh tidak terlalu menggembirakan.  Walaupun pertumbuhan ekonomi di triwulan pertama tahun 2005 masih baik, yakni sekitar 6,1% ukuran tahunan, namun pada triwulan-triwulan berikutnya pertumbuhan ini turun. Pada triwulan keempat ada kejutan besar berupa kenaikan harga-harga BBM.  Ini menimbulkan inflasinya sendiri yang angkanya juga lebih besar daripada yang diperkirakan.  Kalangan pemerintah memperkirakan dampak inflasi tambahan karena kenaikan harga BBM ini sekitar 5%, akan tetapi nyatanya antara tujuh dan delapan persen, oleh karena harga-harga pangan dan produk pangan ikut naik.  Ini menandakan bahwa di masyarakat ada inflationary expectations yang masih cukup tinggi.

Inflasi tinggi pada triwulan terakhir tahun 2005 ini belum akan reda di triwulan pertama tahun 2006.  Memerlukan enam bulan untuk menghilangkan dampaknya.  Bahkan kalangan Bank Indonesia agak cemas, di triwulan ketiga pun masih akan terasa buntut inflasi.  Maka prospek ekonomi untuk tahun 2006 sungguh tidak terlalu cerah.  Laju ekonomi tahun 2005 mungkin hanya mencapai 5,4% (di bawah angka sasaran 6%). Ada kemungkinan bahwa kinerja pertumbuhan ekonomi tahun 2006 tidak akan lebih baik.

Ini terutama disebabkan investasi tidak akan optimal.  Investor swasta akan bersikap menunggu karena melihat ketidakpastian yang masih cukup besar, juga dalam kebijakan pemerintah.  Tingkat konsumsi juga tidak akan terlalu kuat karena daya beli di masyarakat terpukul oleh kenaikan harga-harga.  Investasi yang masih bisa diharapkan untuk sedikit menstimulasi ekonomi di tahun 2006 adalah investasi pemerintah, terutama kalau proyek-proyek (DIPA) yang tidak atau belum bisa dilaksanakan di ujung tahun 2005 bisa dicarry-over ke tahun 2006. Oleh karena ini maka sasaran defisit APBN untuk tahun 2006 akan lebih besar.  Defisit membesar dari (rencana) 0,7% PDB menjadi 1,1% PDB (1% PDB akan sebesar sekitar Rp 30 trilyun). 

Asal saja defisit yang lebih besar ini masih bisa dibiayai dengan cara-cara yang non-inflator, tidak perlu ditakuti. Bank Indonesia juga sudah sadar pembatasan ini.  Mengusahakan pembiayaan tambahan 0,5% PDB, atau sekitar Rp 15 trilyun, secara non-inflator tidak bisa dipandang soal mudah.  Pemerintah tidak mau menambah pinjaman luar negeri lagi.  Dana-dana dalam negeri masih cukup ada, tetapi Departemen Keuangan dan Bank Indonesia harus sangat berhati-hati dan “profesional” mengelola pasar uang dan modal dalam negeri.  Dampaknya kepada sektor swasta (yang disebut “crowding out”) kalau pemerintah terlalu banyak menyedot dana-dana dalam negeri juga harus diperhatikan.  Pejabat Bank Indonesia pada suatu panel belakangan ini menyadari ini, sehingga kita bisa merasa cukup aman.

Dengan segala pembatasan pada ekonomi makro yang masih menguasai tahun 2006 itu, bagaimana prospek pengurangan kemiskinan dan penambahan kesempatan kerja yang dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika dilantik menjadi presiden?  Pasti tidak akan tercapai.  Tahun 2006 masih harus dipandang sebagai tahun konsolidasi dari ekonomi yang telah terpaksa menerima pukulan-pukulan besar di tahun 2005.  Kalau laju pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2006 tidak bisa diharapkan melebihi 5,5% maka hanya tercapainya serta konsolidasi stabilitas ekonomi yang harus dipentingkan.  Sasaran-sasaran lain untuk sementara “dinomorduakan” saja.

Sebetulnya masih ada satu “jalan keluar” yang harus ditempuh, yakni meneruskan, bahkan menggenjot segala macam reformasi, terutama yang bersifat deregulasi atau liberalisasi (mencabut peraturan-peraturan yang menghambat perkembangan ekonomi) untuk membuat ekonomi Indonesia lebih fleksibel.  Suatu contoh kecil: kalau asing diizinkan membeli rumah atau real estate maka ini akan membuka pasar dan kesempatan kerja baru.

Dalam batas-batas tertentu APBN 2006, pemerintah juga masih bisa memberikan kompensasi sosial.  Setelah subsidi BBM dikurangi maka ada sejumlah dana (sekitar Rp 50 trilyun) yang bisa dipakai untuk meningkatkan pengeluaran di tiga bidang, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur pedesaan.  Sayang APBN 2006 masih sangat dibebani oleh pos angsuran utang, yang melebihi Rp 90 trilyun. Bagaimana pos ini bisa dikurangi pada waktu ini belum ada titik terang.  Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas juga sudah menampik balon percobaan Kepala Bappenas, Paska Suzetta, untuk mengusahakan potongan (haircut) pinjaman luar negeri.   Kemungkinan restrukturisasi utang pemerintah yang lain menyangkut utang dalam negeri, khususnya surat berharga yang belum di tangan publik dan masih dipegang oleh bank-bank (BUMN) besar.  Tetapi, sikap menteri keuangan/kepala Bappenas tampak sangat konservatip. Masalah beban angsuran utang negara sekonyong-konyong timbul di pembicaraan umum sesudah reshuffle kabinet yang menghasilkan tokoh politik sebagai kepala BAPPENAS, Paskah Suzetta.  Ia bukan “teknokrat” (sebutan populer ahli ekonomi non-partai dalam kedudukan menteri) melainkan ketua komisi di DPR dan kader Partai Golkar.  Menurut orang IMF yang berkedudukan di Jakarta, ia tidak heran karena pada pengalaman kontaknya dengan DPR masalah ini sering masuk pembicaraan.  Di lain fihak, dari tokoh-tokoh pemerintah, terutama menteri ekonomi, masalah ini jarang sekali diketengahkan dan dianggap terlalu sensitip.
Bagi kalangan DPR cukup ada alasan. Sebelum penyesuaian harga-harga BBM maka APBN terlalu dibebani oleh dua mata anggaran yang dipandang kurang bisa memacu pertumbuhan ekonomi, pertama, pos anggaran angsuran utang, dan kedua, subsidi BBM.  Untuk bisa melihat angka-angka dalam perspektip harus diingat bahwa besar PDB Indonesia untuk tahun 2006 akan sekitar Rp 3000 trilyun.  Belanja negara sekitar Rp 650 trilyun atau sekitar 20%. PDB  Pos angsuran utang luar negeri untuk 2006 adalah Rp 60 untuk angsuran pokok dan Rp 30 trilyun untuk bunganya, yang dipandang terlalu berat (total 14% PDB).  Rasio yang baik adalah antara lima dan sepuluh persen.  Subsidi BBM sudah banyak dikurangi, walaupun minyak tanah masih diberi subsidi besar.  Harga resmi seliter adalah sekitar Rp 2000 sedangkan biaya pengadaan di atas Rp 4000 seliter.  Maka di APBN 2006 masih ada pos sekitar Rp 50 trilyun untuk subsidi BBM.

Kewajiban pada 2006, total kewajiban utang luar negeri Rp 88,4 trilyun dan utang dalam negeri Rp 80 trilyun.  Maka beban utang luar negeri adalah sekitar 30% dari PDB.  Rasio utang luar negeri terhadap PDB ini sudah banyak diturunkan.  Di tahun 2000 masih sekitar 100% PDB dan di tahun 2005 sudah sekitar 50% PDB.  Maka dilihat dari kemampuan (kapasitas) ekonomi untuk menanggungnya harus disimpulkan tidak ada masalah besar.  Akan tetapi, dana yang harus disediakan untuk angsuran utang ini harus dibandingkan dengan pos lain dalam anggaran belanja, yang secara sosial ekonomi lebih penting, yakni belanja pembangunan, terutama di sektor pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur.  

Anehnya, pernyataan Menteri Kepala Bappenas baru itu bukan tuntutan mutlak. Lebih banyak merupakan “harapan”, dan diakuinya masih harus dibicarakan dengan menteri keuangan dan menko perekonomian.  Dalam hal ini, menteri perekonomian, Sri Mulyani Indrawati, lebih bersikap diam tanpa komentar. Kiranya, baik menteri keuangan maupun menko perekonomian tidak mau bikin kaget para kreditor dan pasar uang.  Maka dalam berapa waktu yang akan datang harus dicermati, apakah permulaan diskusi publik mengenai pengurangan pembayaran utang ini akan lebih mencuat dan memanas, atau akan mati, ditinggalkan tanpa konklusi yang praktis.

Lepas dari segi politis dari ucapan menteri kepala Bappenas yang baru, maka masalah pembayaran kembali utang negara harus dibedakan antara keperluan jangka pendek dan jangka panjang.  Beban pembayaran kembali masih akan berat untuk masa jangka panjang, kira-kira lima belas tahun yang akan datang.  Padahal usia jabatan menteri hanya lima tahun.  Maka bagi menteri masalah jangka pendek lebih penting.  Masalah jangka pendek bisa berupa memuncaknya keperluan pembayaran kembali.  Beban puncak pembayaran ini bisa diupayakan untuk lebih diratakan, artinya, diupayakan rescheduling beberapa beban utang yang jatuh tempo. Ini adalah kewajiban “management utang” yang sudah dilaksanakan oleh Departemen Keuangan secara rutin.  Di tahun 2005 ini kebetulan pemerintah juga menerima “moratorium” (penjadwalan satu tahun) karena beberapa negara kreditor bersedia membantu Indonesia mengurangi beban rehabilitasi bencana tsunami di Aceh.  Fasilitas ini tidak akan tersedia lagi tahu depan.

Apakah Indonesia patut dan wajar mendapat keringanan angsuran lagi?  Menurut perhitungan IMF dan pemerintah sendiri, hal demikian tidak terlalu mendesak.  Akan tetapi, karena ada kasus Nigeria dan Argentina, maka ada yang mempertanyakan kebutuhan yang serupa untuk Indonesia.

Suatu jawaban yang afdol tidak ada.  Pemotongan utang bagi Nigeria (sebetulnya negara yang cukup mampu karena produsen minyak bumi) disebabkan oleh karena satu negara kreditor, yakni Inggris, bersikap ramah terhadap negara bekas jajahannya.  Kasus Argentina lebih kompleks, dan pemerintahnya “nekad” karena kepepet.  Pemerintah Indonesia tidak mau “nekad” karena takut peringkatnya di pasar modal akan jatuh.  Tetapi, sikap IMF juga tidak mutlak menolak. Kalau ada negara kreditor yang besar mau membantu Indonesia, silahkan. Kemungkinannya hanya Jepang.  Reaksi Jepang pertama akan menolak keras karena undang-undang dan sikap masyarakatnya, akan tetapi mungkin bisa melunak, seperti pernah terjadi.
Masalah beban angsuran utang negara sekonyong-konyong timbul di pembicaraan umum sesudah reshuffle kabinet yang menghasilkan tokoh politik sebagai kepala BAPPENAS, Paskah Suzetta.  Ia bukan “teknokrat” (sebutan populer ahli ekonomi non-partai dalam kedudukan menteri) melainkan ketua komisi di DPR dan kader Partai Golkar.  Menurut orang IMF yang berkedudukan di Jakarta, ia tidak heran karena pada pengalaman kontaknya dengan DPR masalah ini sering masuk pembicaraan.  Di lain fihak, dari tokoh-tokoh pemerintah, terutama menteri ekonomi, masalah ini jarang sekali diketengahkan dan dianggap terlalu sensitip.
Bagi kalangan DPR cukup ada alasan. Sebelum penyesuaian harga-harga BBM maka APBN terlalu dibebani oleh dua mata anggaran yang dipandang kurang bisa memacu pertumbuhan ekonomi, pertama, pos anggaran angsuran utang, dan kedua, subsidi BBM.  Untuk bisa melihat angka-angka dalam perspektip harus diingat bahwa besar PDB Indonesia untuk tahun 2006 akan sekitar Rp 3000 trilyun.  Belanja negara sekitar Rp 650 trilyun atau sekitar 20%. PDB  Pos angsuran utang luar negeri untuk 2006 adalah Rp 60 untuk angsuran pokok dan Rp 30 trilyun untuk bunganya, yang dipandang terlalu berat (total 14% PDB).  Rasio yang baik adalah antara lima dan sepuluh persen.  Subsidi BBM sudah banyak dikurangi, walaupun minyak tanah masih diberi subsidi besar.  Harga resmi seliter adalah sekitar Rp 2000 sedangkan biaya pengadaan di atas Rp 4000 seliter.  Maka di APBN 2006 masih ada pos sekitar Rp 50 trilyun untuk subsidi BBM.

Kewajiban pada 2006, total kewajiban utang luar negeri Rp 88,4 trilyun dan utang dalam negeri Rp 80 trilyun.  Maka beban utang luar negeri adalah sekitar 30% dari PDB.  Rasio utang luar negeri terhadap PDB ini sudah banyak diturunkan.  Di tahun 2000 masih sekitar 100% PDB dan di tahun 2005 sudah sekitar 50% PDB.  Maka dilihat dari kemampuan (kapasitas) ekonomi untuk menanggungnya harus disimpulkan tidak ada masalah besar.  Akan tetapi, dana yang harus disediakan untuk angsuran utang ini harus dibandingkan dengan pos lain dalam anggaran belanja, yang secara sosial ekonomi lebih penting, yakni belanja pembangunan, terutama di sektor pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur.  

Anehnya, pernyataan Menteri Kepala Bappenas baru itu bukan tuntutan mutlak. Lebih banyak merupakan “harapan”, dan diakuinya masih harus dibicarakan dengan menteri keuangan dan menko perekonomian.  Dalam hal ini, menteri perekonomian, Sri Mulyani Indrawati, lebih bersikap diam tanpa komentar. Kiranya, baik menteri keuangan maupun menko perekonomian tidak mau bikin kaget para kreditor dan pasar uang.  Maka dalam berapa waktu yang akan datang harus dicermati, apakah permulaan diskusi publik mengenai pengurangan pembayaran utang ini akan lebih mencuat dan memanas, atau akan mati, ditinggalkan tanpa konklusi yang praktis.

Lepas dari segi politis dari ucapan menteri kepala Bappenas yang baru, maka masalah pembayaran kembali utang negara harus dibedakan antara keperluan jangka pendek dan jangka panjang.  Beban pembayaran kembali masih akan berat untuk masa jangka panjang, kira-kira lima belas tahun yang akan datang.  Padahal usia jabatan menteri hanya lima tahun.  Maka bagi menteri masalah jangka pendek lebih penting.  Masalah jangka pendek bisa berupa memuncaknya keperluan pembayaran kembali.  Beban puncak pembayaran ini bisa diupayakan untuk lebih diratakan, artinya, diupayakan rescheduling beberapa beban utang yang jatuh tempo. Ini adalah kewajiban “management utang” yang sudah dilaksanakan oleh Departemen Keuangan secara rutin.  Di tahun 2005 ini kebetulan pemerintah juga menerima “moratorium” (penjadwalan satu tahun) karena beberapa negara kreditor bersedia membantu Indonesia mengurangi beban rehabilitasi bencana tsunami di Aceh.  Fasilitas ini tidak akan tersedia lagi tahu depan.

Apakah Indonesia patut dan wajar mendapat keringanan angsuran lagi?  Menurut perhitungan IMF dan pemerintah sendiri, hal demikian tidak terlalu mendesak.  Akan tetapi, karena ada kasus Nigeria dan Argentina, maka ada yang mempertanyakan kebutuhan yang serupa untuk Indonesia.

Suatu jawaban yang afdol tidak ada.  Pemotongan utang bagi Nigeria (sebetulnya negara yang cukup mampu karena produsen minyak bumi) disebabkan oleh karena satu negara kreditor, yakni Inggris, bersikap ramah terhadap negara bekas jajahannya.  Kasus Argentina lebih kompleks, dan pemerintahnya “nekad” karena kepepet.  Pemerintah Indonesia tidak mau “nekad” karena takut peringkatnya di pasar modal akan jatuh.  Tetapi, sikap IMF juga tidak mutlak menolak. Kalau ada negara kreditor yang besar mau membantu Indonesia, silahkan. Kemungkinannya hanya Jepang.  Reaksi Jepang pertama akan menolak keras karena undang-undang dan sikap masyarakatnya, akan tetapi mungkin bisa melunak, seperti pernah terjadi. Pada umumnya, Pemerintah sadar bahwa keadaan ekonomi tidak terlalu baik. Ekonomi jangka pendek hidup di bawah bayangan inflasi yang sangat tinggi, kira-kira 18% setahun, terutama setelah kenaikan harga BBM bulan Oktober.  Laju pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan pun tidak akan mencapai sasaran pemerintah.  Untuk tahun ini kalau sedikit di atas 5,3% sudah bagus.  Untuk tahun depan maka sasaran pemerintah adalah 6,2% akan tetapi ini sudah pasti tidak akan tercapai.  Apakah laju pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa sedikit lebih baik daripada tahun 2005, itu pun pada waktu ini tampak tidak pasti.
Triwulan pertama tahun 2005 masih menampakkan laju pertumbuhan ekonomi yang baik, yakni 6,2% ukuran setahun, akan tetapi ekonomi melemah sejak itu, dan pengaruh kenaikan harga BBM yang lebih dari 100% memukul konjungtur ekonomi ini.  Ini tidak berarti bahwa kebijakan menaikkan harga BBM itu salah. Mungkin kenaikannya terlalu tinggi, akan tetapi itu adalah akibat harga-harga itu tidak dinaikkan secukupnya  sewaktu pemerintahan Megawati Soekarnoputri.  Setelah disesuaikan maka anggaran belanja tidak mampu memanfaatkan kenaikan penerimaan untuk menstimulasi ekonomi oleh karena peraturan-peraturan baru dalam penyusunan anggaran belanja pemerintah mengenai Daftar Isian Proyek Anggaran (DIPA).  Maka sampai November 2005 secara nyata ada surplus.

Maka pada waktu ini ekonomi mengalami inflasi tinggi dan pertumbuhan yang “kurang darah”.  Maka yang merupakan pilihan kebijakan yang pelik adalah, apakah yang harus diprioritaskan:  pendinginan inflasi atau stimulasi ekonomi?   Ini tampak pada pesan atau program Presiden dan para menteri.

Presiden pesankan enam agenda: 1. Menyehatkan makro ekonomi, 2. Mengendalikn inflasi, 3. Memperbaiki arus barang kebutuhan pokok, 4. Menciptakan lapangan kerja baru dengan merealisasikan pembangunan infrastruktur yang padat karya, 5. Menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kontribusi investasi dan ekspor, dan 6. Memperbaiki neraca pembayaran, baik neraca modal maupun transaksi berjalan. Menko Perekonomian Boediono menekankan: 1. Memantapkan stabilitas ekonomi, inflasi dan kurs rupiah, 2. Menggerakkan roda perekonomian, 3. Memperbaiki koordinasi pemerintah dengan Bank Indonesia.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menekankan: 1. Menurunkan tingkat inflasi hingga satu digit, 2. Mendorong penciptaan lapangan kerja, 3. Mengurangi tingkat kemiskinan.

Sementara itu, Bank Indonesia akan meneruskan kebijakan moneter yang ketat untuk meredam inflasi dan terpaksa menaikkan suku bunga. Mudah ada konflik antara sasaran meredam inflasi di satu fihak, dan menggerakkan roda perekonomian di lain fihak.  Maka bagaimana mencari jalan tengah diantara kedua sasaran itu?  Salah suatu kiat adalah untuk tidak terlalu takut kepada inflasi tinggi sekarang oleh karena sebetulnya tidak disebabkan oleh kelebihan permintaan.  Inflasi lebih banyak karena supply adjustment.

Kalau Bank Indonesia harus mengurangi tekanan inflasi dengan menaikkan suku bunga maka sektor swasta akan direm dalam ekspansinya.  Maka sebagai imbangan pemerintah harus melonggarkan kebijakan fiskalnya, artinya jangan takut mengeluarkan uang untuk menstimulasi ekonomi.  Sudah tentu semuanya dalam batas-batas yang wajar. Defisit APBN juga harus bisa dibiayai lewat cara-cara yang non-inflator.

Anehnya, hanya surat kabar berbahasa Inggris, The Jakarta Post, yang hari Jum’at yang lalu menurunkan kepala berita besar di halaman pertama: “Spending to be key to economic recovery”, dan mengutip Menko Boediono yang bicara di depan pers: “We expect to start unloading government spending for projects in the first quarter next year to help stimulate the economy, since the private sector is still feeling the pinch of the dip”.  Pesan ini kurang ditangkap dan ditonjolkan oleh surat-surat kabar yang lain.

Pernyataan yang serupa pernah diucapkan oleh Sri Mulyani ketika masih Kepala Bappenas.  Setelah ia menjadi menteri keuangan maka bisa diharapkan akan memegang garis kebijakan yang sama.

Pantas juga dicatat bahwa Menko Perekonomian Boediono akan berusaha keras untuk memperbaiki iklim investasi dengan menyingkirkan segala peraturan yang menghambat.  Kinerja ekspor akhirnya juga tergantung dari iklim investasi itu karena barang yang bisa menaikkan ekspor non-migas secara banyak adalah hasil industri manufaktur, bukan lagi komoditi primer.  Iklim investasi masih belum terlalu baik dan para investor mengharapkan pemerintah bisa mengadakan reformasi yang efektip di paling tidak dua bidang: perpajakan dan perburuhan.      Ekonomi Indonesia sebetulnya tidak terlalu terpuruk.  Dengan laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih baik daripada lima persen setahun maka tidak bisa dibilang ekonomi mengalami resesi ataupun stagflasi. Tetapi, laju pertumbuhan PDB yang kurang dari 6,5-7,0 persen setahun memang kurang mampu mengurangi angka pengangguran.
Pilihan-pilihan di bidang ekonomi sering merupakan mencari keseimbangan.  Untuk meredam inflasi tinggi maka pilihannya adalah antara stabilisasi dengan menekan pedal rem yang keras akan tetapi sektor riil oleng sedikit, atau tekan rem pelan-pelan tetapi tingkat inflasi juga mereda secara lebih lamban.  Kalau investor masih kurang merasa aman dengan iklim moneter itu maka ia akan menangguhkan keputusan investasinya.  Maka PDB juga tidak akan segera pulih.  Mencari keseimbangan yang tepat tidak mudah dan merupakan “seni memerintah”.

Tahun pertama pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih berhasil di bidang politik dan keamanan.  Di bidang ekonomi yang dirasakan publik hanya biaya hidup yang sangat meninggi, penangguran yang memuncak, dsb-nya.  Akan tetapi penyesuaian ekonomi yang paling berat (mengurangi defisit APBN) telah dilakukan di tahun 2005 sehingga tahun 2006 dan 2007 bisa dipastikan prospeknya lebih baik.  Sebagai negara produsen minyak dan gas bumi maka sebetulnya ekonominya harus diuntungkan kalau harga internasional baik.  APBN harus bisa lebih mampu. 

Persepsi orang dalam negeri dan luar negeri juga banyak berbeda.  Orang dalam negeri yang merasakan beban hidup sekarang cenderung melihat keadaan jangka pendek.  Pasar di luar negeri pada umumnya lebih menghargai gerak dan kebijakan ekonomi di Indonesia, yang dipandang sudah on track.  Pasar dan pengamat di luar negeri lebih cenderung melihat prospek dari jangka yang lebih panjang.  Tahun 2006 mungkin masih ada kelanjutan kesukaran penyesuaian, akan tetapi prospek untuk tahun 2007 tampak jauh lebih baik.

Sementara itu, Presiden SBY juga harus memperhatikan keseimbangan (pengaruh politik) antara pejabat-pejabat yang mengemudikan ekonomi.  “Keseimbangan” ini menjadi masalah karena antara Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ada banyak komplementaritasnya akan tetapi juga ada perbedaan persepsi, gaya kepemimpinan, dan kepentingan. Maka mungkin dirangkulnya Boediono oleh SBY adalah untuk memperbaiki keseimbangan ini.  Posisi Sri Mulyani tidak tegas, apakah ia “orang JK atau lebih dekat kepada SBY”.  Kalau Sri Mulyani menjadi “independen” atau “mengambang” maka itu mungkin yang paling baik untuk keseluruhan keseimbangan.  Sebagai ketua Bappenas yang baru telah ditunjuk seorang dari Partai Golkar, jadi masuk kubu Jusuf Kalla.  Maka tiga-sejoli pimpinan ekonomi: menteri keuangan, menko perekonomian dan ketua Bappenas tidak merupakan kesatuan yang solid, akan tetapi wewenang ketua Bappenas sudah dikurangi (oleh UU Keuangan Negara) dan bergeser ke menteri keuangan.  Maka Sri Mulyani sekarang bisa dilihat sebagai menteri ekonomi yang paling menentukan.

Karena keadaan ekonomi tahun 2005 berat sekali dan banyak timbul pengangguran baru, juga daya beli masyarakat yang terpukul, maka ada keharusan politik bagi Presiden SBY untuk bisa menggerakkan ekonomi di tahun 2006.  Tetapi, karena tekanan inflasi masih berat maka Bank Indonesia berniat untuk meneruskan kebijakan moneter yang ketat.  Maka dilemanya bagi pemerintah adalah, apakah kebijakan fiskal bisa sedikit ekspansip untuk memberi stimulasi kepada ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja?  Oleh menteri keuangan yang baru, Sri Mulyani Indrawati, maka dijawab Ya.  Pengeluaran untuk pembangunan dan stimulasi ekonomi mau digenjot di tahun 2006 dengan mengizinkan defisit APBN naik menjadi 1% PDB, terutama untuk mengimbangi kekurangan spending di tahun 2005.

Masuknya Boediono di kabinet pada umumnya diterima baik oleh pasar.  Tetapi, masih ada orang yang menyangsikan apakah Boediono (bahkan Presiden sendiri) bisa independen dari pengaruh IMF.  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rupanya merasa tersinggung oleh prasangka demikian dan memberi komentar ketika mengumumkan susunan kabinet yang baru. Issue IMF tahun yang lalu juga mencuat dan menyebabkan Sri Mulyani (yang dipandang dekat pada IMF) gagal menempati posisi sebagai menteri keuangan.  Lalu dicari tokoh yang netral, Jusuf Anwar, yang setelah satu tahun juga terbukti bukan pilihan yang tepat.  Sekarang Sri Mulyani ditempatkan di keuangan.  Apakah ini bukan buang waktu satu tahun karena Presiden (dulu) terpojok oleh issue yang tidak relevan?  Memang, issue IMF dan paradigma sistim ekonomi (“neo-liberalisme”?) sudah lama tidak merupakan alternatip yang relevan.  Sejak 1967 maka pemerintah lebih mengandalkan pengelolaan ekonomi kepada “mekanisme pasar” sebagai alokator, dan zaman “Ekonomi Terpimpin” (kembarnya “Demokrasi Terpimpin”) sudah lama ditinggalkan.

Walaupun susunan kabinet ekonomi selama tahun pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak ideal, tidak bisa diharapkan kinerja yang maksimal sejak permulaan.  Gaya kepimpinan SBY sendiri juga tidak ideal kuat, dan kalau satu tahun dipergunakannya untuk mencari format yang lebih efektip, itu bisa dimengerti.  Hasil pemerintahnya di bidang politik dan keamanan sudah bagus, sehingga secara keseluruhan kita bisa angkat jempol.  Ketika Presiden kemarin mengumumkan susunan kabinetnya yang baru maka kesan di mata publik yang ia ingin tonjolkan adalah bahwa ia in command.  Dengan dukungan Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani memang banyak kesempatan untuk berhasil.  Wakil Presiden Jusuf Kalla akan mendukung sukses ini karena Partai Golkar juga berkepentingan akan citra pembangunan yang berhasil.  (HABIS)
          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar