(Business News, Senin, 20 Februari 2006)
Minggu
yang lalu ada suatu adu pendapat yang sangat menarik dan yang
berkualitas tinggi. Dua tokoh pimpinan nasional, yakni Amien Rais dan
Jusuf Kalla, melemparkan masing-masing visi mengenai demokrasi,
stabilitas politik dan ekonomi, dan dampaknya kepada kesejahteraan
rakyat. Amien Rais bicara sebagai tokoh masyarakat dan Jusuf Kalla
sebagai wakil presiden. Kepentingan masing-masing lain.
Amien Rais mengeritik DPR kurang berfungsi sebagai pengawas eksekutip.
Terlalu akomodatip terhadap pemerintah. Amien Rais menganggap sangat
penting adanya checks-and-balances pada demokrasi politik.
Sebagai contoh, DPR tidak bersikap kritis terhadap usaha pemerintah
menjual banyak BUMN kepada asing. Ia mengaku khewatir masa depan bangsa
ini jika BUMN-BUMN itu dibiarkan beralih ke pemilikan pihak asing.
Di
lain fihak, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluh, pemerintah jangan
disalahkan melulu, seolah-olah tidak pernah berbuat hal yang baik, dan
selalu dijadikan sasaran kritik. Menurut Wapres, perkembangan demokrasi
sejak arus reformasi bergulir pada tahun 1998, telah membukakan banyak
kesempatan untuk berdialog terbuka tentang berbagai hal, mengoreksi apa
yang salah, serta makin bertumbuhnya budaya kritik. “Namun, sejumlah
kalangan telah mengertikan demokrasi sebagai ajang untuk saling
mengeritik dan menjatuhkan, sehingga kesan kuat yang muncul, yakni apa
pun yang dilakukan pemerintah, pasti selalu salah. Kita dipersalahkan
karena menaikkan harga BBM, tapi bagaimana kita memperoleh biaya untuk
membangun bangsa ini kalau tidak mengambil kebijakan itu? Kita
dipersalahkan karena memprakarsai MoU damai RI-GAM, tapi apakah
dibenarkan kalau kita membiarkan sesama saudara terus berperang dan
memakan banyak korban jiwa”, tukas Wapres.
Negara-negara Barat suka memuji bangsa Indonesia bahwa dewasa ini rakyatnya bisa hidup
di alam demokrasi, yang jauh lebih baik ketimbang sistim otokratis di
zaman Suharto. Akan tetapi, bisnis Barat lebih suka pergi ke Cina dan
menanam modalnya di situ karena dalam persepsinya Cina jauh lebih stabil
dan aman. Maka “Barat mempraktekkan standar ganda”.
Selama di era reformasi maka pembangunan ekonomi tetap berjalan akan tetapi laju pertumbuhan ekonomi tidak sampai bisa menyentuh
6% setahun, sedangkan di zaman otoriter Suharto telah mencapai
rata-rata di atas 7% setahun. Tetapi, apakah kita sebaiknya
mengembalikan sejarah? Karena sasaran akhir bukan demokrasi melainkan
kesejahteraan rakyat.
Sesungguhnya, pertanyaan demikian retorik saja, karena suatu bangsa tidak bisa membalikkan
sejarah. Zaman Suharto juga merupakan hasil perkembangan sejarah
sebelumnya. Seorang diktator atau pemimpin kuat tidak timbul begitu
saja. Suharto pun “menjadi kuat” dalam sejarah kariernya setelah
berhasil mendatangkan stabilitas politik dan pembangunan kembali
ekonominya. Susilo Bambang Yudhoyono sekarang bukan seorang pimpinan
yang otokratik. Bahkan sebaliknya, orang sekarang banyak mengeluh bahwa
kepimpinannya kurang tegas. Karena kepemimpinannya kurang tegas maka
seluruh sistim politik sekarang juga tampak tidak terlalu stabil, dan
oleh karena ini maka investasi masuknya kurang. Investor yang mencari
kepastian dan stabilitas yang lebih besar pergi ke Malaysia, Vietnam,
Cina dan Thailand. Oleh karena itu laju pertmbuhan ekonomi di
negara-negara itu juga lebih tinggi daripada di Indonesia. Apakah
Indonesia bisa memperbaiki kinerjanya?
Dengan demokrasi politik dan kepimpinan Presiden sekarang tidak mudah. Tetapi mudah-mudahan dengan berjalannya waktu bisa diharapkan
kemajuan. Pertama, citra stabilitas politik, artinya masyarakat tidak
meragukan lagi kelanjutan kepresidenan sekarang, bisa menjadi
lebih baik. Yang menjadi kesulitan operasional adalah menemukan
sinergi antara kepribadian Susilo Bambang Yudhoyono, di satu fihak dan
kepribadian wakil presiden dan para menteri kunci, di lain fihak. Wakil
presiden tidak bisa diganti,
dan ia pun sebetulnya cukup pro-aktip dan lebih tegas daripada SBY.
Susunan kabinet adalah kelemahan Presiden. Sebetulnya SBY harus merasa
bebas untuk mengganti dan membentuk team kabinet yang lebih efektip. Ia
tidak hutang budi kepada partai-partai politik. Malasahnya bagi dia
adalah dukungannya di DPR kurang kuat. Tetapi, ini tidak sejajar dengan
observasi Amien Rais. Maka seerti ada keganjilan.
Di
bidang politik ekonomi personalia menteri kunci, terutama Budiono dan
Sri Mulyani, sudah optimal. Hanya mereka ini dicela karena kurang
berani, misalnya untuk “ngemplang utang”. Tetapi, jalan keluarnya tidak
mudah. Kinerja menteri ekonomi akhirnya tergantung dari efektivitas
kepimpinan Presiden. Maka untuk sementara waktu kemajuan akan bersifat
gonjang ganjing, dengan laju pertumbuhan PDB di bawah 6% setahun. Sebagai gejala historis maka tingkat inflasi di Indonesia lebih tinggi daripada di negara tetangga ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. Mengapa? Dan Apakah ini menguntungkan kehidupan serta pembangunan ekonomi? Pada umumnya tidak. Kinerja ekonomi dan laju pertumbuhan PDB di Thailand dan Malaysia
lebih tinggi daripada di Indonesia. Di Asia Tenggara Indonesia lebih
mirip Filipina. Inflasi di Filipina juga lebih tinggi (sedikit)
daripada di Thailand dan Malaysia, dan laju pertumbuhan ekonomi Filipina juga di bawah Thailand dan Malaysia.
Kinerja ekonomi mana lebih baik, di Indonesia atau di Filipina? Ini
agak susah dijawab. Mungkin Filipina lebih baik sedikit. Filipina
sesudah perang dunia kedua sudah mempunyai pendapatan per kapita yang
lebih tinggi daripada kebanyakan negara ASEAN, akan tetapi sesudah itu
di lampaui oleh Thailand dan Malaysia.
Sekarang pendapatan orang di Filipina mungkin masih lebih tinggi
sedikit daripada di Indonesia, akan tetapi perbedaannya tidak banyak.
Filipina sering disebut “the sick man of Asia”, dan akar
penyakitnya ada di struktur sosialnya. Tetapi struktur sosial di
Indonesia lain daripada di Filipina, yang dikuasai oleh sekelompok tuan
tanah yang besar, antara lain keluarga Presiden. Mungkin kelebihan di
Malaysia dan Thailand
(dibandingkan Indonesia) adalah peran unsur penduduk Tionghoanya di
perekonomiannya lebih besar. Di Indonesia penduduk etnis Tionghoa juga
menguasai ekonomi tetapi tidak punya pengaruh politik. Di Indonesia
politik ada di tangan penduduk golongan pribumi yang mayoritas. Mungkin
perbedaan ini menyebabkan kualitas politik ekonomi di Indonesia lain
daripada di Thailand dan Malaysia. Maka mungkin juga akar inflasi yang tinggi ada di keadaan sosial-politik ini.
Golongan
pribumi adalah mayoritas akan tetapi yang berpendapatannya lebih
rendah, Salah suatu ciri orang miskin adalah punya nafsu mengkonsumsi
lebih banyak dibandingkan pendapatan riilnya. Kalau masyarakat mau
mengeluarkan uang lebih banyak daripada nilai produksinya maka
harga-harga akan naik. Inilah sumber inflasi di Indonesia.
Inflasi di Indonesia di zaman Suharto pun lebih tinggi daripada di Malaysia dan Thailand,
walaupun tingkat inflasi di zaman Suharto sudah jauh lebih rendah
daripada di zaman Bung Karno. Itu akibat perubahan policy dari team
ekonomi yang dikendalikan oleh Prof. Widjojo dan Ali Wardhana. Mereka berhasil mengurangi inflasi yang sebelumnya ratusan persen setahun dan merupakan runaway inflation. Senjatanmya adalah balanced budget, anggaran pemerintah yang berimbang. Rumus ini cukup berhasil.
Di
zaman Orde Baru itu maka belum ada ketentuan bahwa Bank Indonesia
mempunyai misi utama menjaga nilai rupiah, alias pengekangan inflasi.
Baru setelah Reformasi tahun 1998 ketentuan demikian dituangkan dalam undang-undang yang menjaga independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Ini banyak membantu untuk mengurangi inflasi.
Apakah
lalu kebijakan anggaran belanja pemerintah menjadi sumber inflasi? In
prinsip, tidak. Karena prinsip anggaran belanja yang berimbang masih
dipertahankan. Akan tetapi, dalam praktek ini belum merupakan jaminan.
APBN yang meningkat, walaupun tetap berimbang, dampaknya inflator.
Prinsip anggaran berimbang tidak boleh dipegang terlalu kaku. Misalnya,
akhir tahun 2005 ada kelebihan penerimaan besar karena sebagian subsidi
BBM dihapus. Jumlah ini lalu “dipaksakan” menjadi pengeluaran
pemerintah atas nama anggaran yang berimbang. Policy demikian ikut
meniup inflasi. Sebetulnya anggaran belanja pemerintah harus
diperbolehkan mengumpulkan surplus yang dampaknya akan deflator.
Akan
tetapi, selalu ada tekanan dari masyarakat agar pemerintah mengeluarkan
uang lebih banyak untuk pembangunan, atau untuk membantu sektor
pendidikan dan kesehatan. Di sinilah pemerintah terjebak “gejala orang miskin” yang selalu mau hidup di atas kemampuan penghasilannya.
Idée fix
masyarakat adalah kalau pemerintah meningkatkan pengeluaranya untuk
pembangunan maka laju pertumbuhan ekonomi akan naik. Ini salah pikir.
Yang lebih menentukan tingkat laju pertumbuhan ekonomi adalah total
investasi di masyarakat, termasuk dari swasta dalam dan luar negeri. Jumlah ini tidak akan optimal kalau iklim moneternya serba inflator, yang mengganggu stabilitas ekonomi dan menambah resiko.
Kemakmuran
yang dibawa oleh inflasi adalah semu. Orang merasa lebih kaya oleh
karena pegang uang lebih banyak. Akan tetapi nilai uang merosot
sehingga akhirnya orang atau masyarakat itu menjadi lebih miskin.Sektor pertambangan merupakan sektor ekonomi yang cukup penting.
Sejak
permulaan masa Orde Baru penanaman modal asing dirangsang masuk untuk
eksploatasi sektor pertambangan ini. Modal dalam negeri masih kurang
tersedia. Sampai sekarang hanya ada dua BUMN di bidang pertambangan
yang cukup besar, yakni ANTAM dan perusahaan batu bara. Perusahaan
swasta dalam negeri yang besar yang terkenal sekarang hanya satu, yakni
KPC (Kalimantan Pima Coal). Perusahaan asing yang besar lebih banyak.
Yang terbesar adalah Freeport yang menambang tembaga dan emas di Papua,
Inco yang menambang nikel di Sulawesi, Newmont Mining (emas) yang
memiliki beberapa proyek besar juga.
Investasi asing per proyek sampai ratusan juta dolar. Secara kumulatip
proyek Freeport dan Inco masing-masing sudah menanam satu milyar dolar.
Potensi pertambangan di Indonesia mempunyai ranking tinggi di dunia.
Oleh karena itu investasi internasional tetap akan tertarik kepadanya,
asal saja lingkungan untuk investasi menggairahkan. Selama masa Orde
Baru maka banyak
perusahaan asing demikian masuk Indonesia, dan sekarang puluhan sudah
mengantongi izin, walaupun jumlah yang sudah beroperasi masih terbatas.
Tetapi, sesudah 1997 praktis tidak ada investor baru yang masuk.
Minggu
yang lalu ada berita kecil di surat kabar asal Amerika Serikat, yakni
Freeport McMoRan Copper and Gold Inc., pemegang saham terbesar PT
Freeport, membagi dividend 50 dollarcent ekstra sudah tiga kali tahun
ini. Ini pertanda keuntungan PT Freeport besar sekali. Berkat
harga-harga nikel yang tinggi maka PT Inco juga meraih keuntungan yang lumayan.
Di
lain fihak, di dalam negeri belakangan ini timbul sentimen yang serba
nasionalis yang mempertanyakan apakah eksploatasi kekayaan tambang di
Indonesia itu sudah sungguh-sungguh menguntungkan bangsa? Amien Rais
adalah salah suatu tokoh yang vokal. Akan tetapi di DPR ada juga
suara-suara yang senada. Lagipula, sekarang ini banyak LSM yang menjadi
pengeritik yang vokal terhadap perkembangan di bidang pertambangan.
Sebagian
alasan mereka masuk akal. Ekpsloatasi pertambangan sering tidak
merupakan pandangan yang menyejukkan mata. Pembuangan tailingsnya
sering menimbulkan gambaran yang menyedihkan karena merusak
lingkungan. Mereka yang pernah terbang ke tambang Freeport di Papua,
bisa menyaksikan sendiri dari pesawat terbang ketika mau mendarat di
Timika. Di lain fihak, baik perusahaan maupun kalangan pemerintah yang
mengawasinya sudah mengadakan verifikasi dan kesimpulannya adalah bahwa
tidak ada peraturan yang dilanggar. LSM tidak begitu percaya, bahkan
punya prasangka bahwa orang-orang pemerintah, saking getolnya merangsang
penanaman modal asing, dan mungkin ada unsur perasaan minder
terhadap asing, terlalu lemah sikapnya. LSM juga menandaskan bahwa
penduduk sekitar proyek, atau di wilayah proyek itu, tetap miskin.
Lihat saja penduduk asli di Papua, di Riau, Aceh dan Kalimantan Timur.
Ini masalah community development yang dulu, di generasi-generasi pertama Kontrak Karya, tidak khusus disebut sebagai tanggung jawab perusahaan.
Kontrak
Karya sendiri sudah beberapa kali mengalami revisi dan perbaikan syarat
untuk fihak Indonesia. Kontrak Karya yang berlaku sekarang sudah
generasi ketujuh. Kalau suatu PMA pertambangan minta perpanjangan KK
yang lama maka harus tunduk kepada KK generasi baru. Jadi ada kemajuan.
Mungkin, justru karena ada contoh-contoh proyek PMA pertambangan yang sukses, seperti Freeport, Inco dan Newmont, maka kritik
dari masyarakat, baik masyarakat setempat maupun LSM nasional, menjadi
semakin keras. Mereka itu mempertanyakan apakah syarat-syarat KK sudah
wajar dan apakah pengawasan di lapang sudah efektip? Kerusakan pada
lingkungan dipandang kurang ada jaminan bahwa perusahaan akan
memperbaikinya. Kalangan DPR juga mulai aktip dan membuat suatu Panja
untuk menyelidiki kontrak dengan PT Freeport. Yang dicemaskan kalangan
pemerintah adalah bahwa nanti ada tuntutan untuk renegosiasikan KK. Ini
bisa saja, akan tetapi harus ada kesepakatan dari kedua fihak. Kalau
ada pelanggaran kontrak (breach of contract) maka fihak
asing bisa minta arbitrasi internasional. Ini juga “ditakuti” oleh
kalangan pemerintah karena bisa merusak citra investment promotion.
Bagaimana jalan keluarnya?
Harus ada suatu
“kompromis” berdasar saling pengertian. LSM juga harus ingat bahwa
eksplorasi dan eksploatasi pertambangan punya resiko besar. Dari 100
kali eksplorasi hanya 4 yang akhirnya menjadi operasi tambang yang
berhasil. Maka investor
juga layak mendapat keuntungan bagi investasi modalnya. Initiatip
panja DPR mungkin jalan terbaik. DPR adalah partner pemerintah dan dulu
naskah KK dikonsultasikan dengan DPR. Hasil dengan Freeport bisa
menjadi contoh bagi proyek PMA asing yang lain. Demikianlah harapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada para menterinya agar bisa mengatasi berbagai permasalahan yang masih
akan muncul di tahun 2006. Pertanyaan pertama adalah apakah harapan
Presiden ini cukup realistik, ataukah sebetulnya lebih banyak retorika
saja. Kesempatan untuk ngutak-ngutik APBN sudah sempit. Bagaimana di
luar bidang ini, misalnya (inovasi) di sektor riil?
Persoalan pemerintah di bidang ekonomi di tahun 2006 masih cukup rumit walaupun tidak akan bersifat darurat. Tindakan menaikkan harga BBM sebetulnya merupakan terobosan fiskal yang oleh kalangan luar negeri (yang tidak
perlu ikut menanggung beban langsung) disambut sangat baik. Bahkan
kalangan internasional ini pada waktu ini optimis akan hari depan ekonomi Indonesia,
walaupun diakui bahwa dua triwulan pertama keadaan masih berat dan
rawan karena dampak tindakan drastik tahun 2005 itu. Tetapi, menjelang
akhir tahun tingkat inflasi bulanan akan menurun. Anggaran belanja
pemerintah hanya masih punya satu beban besar, yakni angsuran kembali
utang-utang luar dan dalam negeri. Ancaman yang masih dihadapi adalah kalau harga minyak masih akan naik.
Maka pertanyaan berikutnya, dan yang sebetulnya
sangat mengganggu Presiden, adalah, apakah di tahun 2006 masih
diperlukan kenaikan lebih lanjut dari harga-harga BBM dalam negeri?
Jawabnya, “tergantung dari berapa kenaikannya”. Kalau kenaikan harga
tidak terlalu besar maka untuk sementara harga-harga BBM dalam negeri
lebih baik tidak dinaikkan dan tambahan defisit dibiayai dengan cara
lain. Secara nominal maka pemerintah masih punya cadangan dana dari
sisa anggaran tahun 2005 setelah harga BBM dinaikkan. Ini bisa dipakai
untuk membiayai defisit tambahan. Akan tetapi tentu ada batasnya, yakni
jangan menimbulkan tekanan inflator. Jalan kedua yang lebih aman adalah untuk mencari pinjaman baru. Ini cara pembiayaan yang non-inflator. Akan tetapi total utang meningkat lagi, yang menimbulkan beban di kemudian hari.
Beban angsuran utang biasanya diukur secara relatip yakni dibandingkan dengan “kemampuan ekonomi”, yang diukur dengan besaran PDB. Maka keperluan penting adalah mengusahakan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup
besar. Laju pertumbuhan selama Orde Baru (mendekati 7% setahun) harus
bisa dicapai. Ini bisa saja karena negara-negara seperti Thailand,
Malaysia, Vietnam, Cina dan India, sekarang menunjukkan kinerja
pertumbuhan di kisaran 7% setahun. Kuncinya adalah investasi, terutama yang bisa mendukung ekspor. Artinya, sektor riil harus digenjot.
Di Indonesia maka pemerintah sejak Megawati Soekarnoputri sudah berhasil menjaga kestabilan makro-ekonomi, yakni inflasi terkendalikan dan laju pertumbuhan PDB membaik ke arah 6% setahun. Sekarang, Menko Perekonomian Boediono juga sudah bertekad, sambil menjaga stabilitas makro-ekonomi,
untuk memperbaiki iklim investasi. Pekerjaan rumahnya juga sudah
diidentifikasi, yakni perbaikan aturan di bidang perpajakan, perburuhan,
pelaksanaan otonomi daerah, dan penegakan law-and-order.
Agenda ini kiranya menjadi tugas utama pemerintah SBY-JK di tahun
kedua. Maka Presiden dan Wakil Presiden juga harus memainkan peranannya yang krusial,
mendukung para menteri untuk berinovasi. Sasaran-sasaran perbaikan
iklim investasi tidak bisa dicapai oleh para menteri secara sendirian.
Menko Perekonomian harus mampu memberi pengarahan dan koordinasi dengan dukungan pimpinan negara.
Menteri (sektoral) yang paling
penting untuk menanggulangi berbagai kesulitan adalah menteri
keuangan. Kalau harga minyak bumi naik terlalu banyak maka anggaran
belanja pemerintah harus diamankan. Walaupun kesempatannya sangat
sempit, namun masih ada beberapa kemungkinan inovasi, antara lain,
apakah beban angsuran utang masih bisa diringankan, apakah penerimaan
dari pajak masih bisa dinaikkan, termasuk pajak dari kekayaan alam
(migas dan kehutanan), apakah kebocoran dalam pengeluaran APBN masih
bisa dikurangi. Menteri Keuangan Sri Mulyani mempunyai kemampuan dan
kesempatan yang optimal karena ia adalah ekonom yang handal
dan menjadi kepercayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Harapan
masyarakat adalah ia berani menjalankan reformasi di bidang perpajakan
dan bea cukai, termasuk mengganti pimpinannya kalau hal demikian
dipandang perlu sebagai pijakan reformasi.
Perubahan
di undang-undang hubungan kerja secara politis memang sulit karena
hak-hak buruh seolah-olah harus dipangkas agar majikan lebih bebas dan
tidak menjadi terlalu mahal kalau mau restrukturisasi perusahaannya.
Maka ini bidang yang harus ditangani oleh seluruh pemerintah. Demikian pula menata kembali hubungan pusat dan daerah.
Indonesian Mining Association (IMA) adalah wadah bagi
perusahaan-perusahaan asing dan nasional di bidang pertambangan umum.
Direktur Eksekutipnya, Prio Prihadi, mengundang wartawan untuk minta
perhatian akan iklim investasinya. Judul editorial ini dikutip dari
liputannya di s.k. Suara Pembaruan, Kamis, 17 Januari 2006. IMA ini juga
mengusahakan agar bisa bertemu dengan Menko Perekonomian, Boediono.
Bidang pertambangan ini juga mengalami publisitas yang merugikan setelah
Amien Rais, politikus kondang, melemparkan tuduhan umum akan saratnya
korupsi, terutama dalam kaitan dengan Kontrak Karya PMA. Apakah ada
juga sentimen baru anti asing karena PMA tampak dominan?
Potensi pertambangan di Indonesia sangat bagus, akan tetapi iklim
investasinya sejak era reformasi pasca 1997 jauh lebih jelek
dibandingkan Australia, Amerika Latin, dan Filipina. Iklim investasi di
zaman Orde Baru (Suharto) diakui jauh lebih baik. Mengapa sejak 1997/8
ada kemunduran? Iklim politik di zaman Suharto sekarang digambarkan
sebagai otoriter yang kurang memperhatikan kepentingan rakyat. Sekarang
segala macam kepentingan lebih banyak diperhatikan tetapi akhirnya
investasi berkurang karena investor melihat terlalu banyak resiko dan
ketidakpastian. Barang-barang galian yang sangat penting (menurut nilai
produksinya) adalah batubara, tembaga dan emas, nikel, dan timah.
Direktur
Eksekutip IMA mengingatkan bahwa “Indonesia bakal kehilangan potensi
pertambangan senilai lebih dari US$ 4 milyar tahun ini. Dalam dua atau
tiga tahun mendatang potensi kehilangan investasi itu akan lebih besar
hingga tiga kali lipat, karena sejumlah perusahaan tambang multinasional
yang telah puluhan tahun beroperasi, berencana mengalihkan investasinya
ke negara lain. Nantinya hanya dua perusahaan besar, seperti Freeport
dan PT Inco yang akan bertahan karena kebetulan kontrak karya yang
dimiliki masih panjang”. Ini statement yang agak berlebihan. PT Inco
tetap akan bertambang di Sulawesi, akan tetapi kalau proyek pembuatan
dam di Karebe tidak cepat diizinkan (oleh Departemen Kehutanan) maka
modal yang sudah disediakan bisa dipakai di lain tempat di luar negeri.
Rio Tinto sejak lima tahun mengajukan Kontrak Karya di Lasamphala
Sulawesi, tetapi hingga kini belum ditanggapi pemerintah.
Potensi
pertambangan Indonesia sangat baik, sehingga selalu akan menarik
investasi. Selama pemerintah Suharto policy pemerintah berbuat
demikian. Sejak era reformasi maka ada beberapa masalah yang mengganggu
iklim investasi. Kepastian policy tidak terang lagi. Sering kali ada
benturan kepentingan antara sektor pertambangan dan sektor kehutanan
atau keperluan menjaga lingkungan hidup. LSM lingkungan hidup pada
umumnya tidak ramah terhadap pertambangan karena dianggap merusak
lingkungan. Maka diperlukan sikap policy yang tegas, kepentingan mana
yang (pada waktu ini) harus didahulukan. Di Amerika dan Filipina maka
ada ketegasan bahwa pertambangan harus didahulukan di mana potensinya
memang terbukti. Di Indonesia lingkungan hidup dipandang lebih penting.
Di
Indonesia sekarang memang sudah ada keputusan pemerintah yang menuju ke
kompromis, yakni dengan peraturan Menteri Kehutanan maka 13 tambang
(antara lain Aneka Tambang, Freeport dan Inco) dikecualikan. Tetapi,
jumlah perusahaan tambang yang sudah mengantongi izin tambang melebihi
seratus, karena pada umumnya potensi tambang ada di bukit-bukit atau
lereng bukti/gunung. Akibatnya adalah bahwa sejak 1998 hampir tidak ada
eksplorasi baru.
Hambatan pada iklim investasi kedua adalah
benturan kepentingan serta wewenang antara pemerintah pusat dan daerah.
Dulu investor pertambangan hanya berunding dengan pemerintah pusat.
Dulu, investor membayar pajak kepada pemerintah pusat dan pemerintah
pusat memberi bagian (terbesar) dari royalty kepada daerah (provinsi dan
kabupaten).
Ditambah lagi, draf Rancangan Undang-Undang mengenai
Mineral dan Batu Bara yang kini dalam proses pembahasan di DPR dinilai
tidak berfihak pada investor. Sehingga dikhewatirkan akan memperburuk
iklim investasi sektor pertambangan. Wacana baru yang berkembang,
misalnya, mau menghapuskan perbedaan antara investor asing dan dalam
negeri. Tetapi, penambang besar di Indonesia pada umumnya asing karena
keperluan permodalan dan teknologi. Pada undang-undang yang berlaku,
investor asing ini dijamin hak-haknya melalui kontrak (contract of work, COW). Kalau COW ini nanti diganti oleh suatu “izin”, apakah jaminannya cukup?
Sementara
ini bagi modal asing di pertambangan ada negara sasaran alternatip.
Mereka itu bisa pergi ke Cina, Vietnam, Filipina, P&G, dsb-nya.
Tetapi, Indonesia tetap menjadi incaran karena potensinya besar. Maka
sebetulnya tidak terlalu sulit untuk bikin senang investor asing itu. Kalau kita mengamati masalah-masalah yang dihadapi Menteri Perdagangan sehari-hari maka kesan adalah bahwa
ikhtiarnya mencari keseimbangan antara keperluan mendukung persaingan,
dan mengakomodasikan sentimen-sentimen dalam negeri yang menghendaki
proteksi, menyita banyak waktu dan fikiran, dan akhirnya tidak ada
kalangan yang puas sekali. Menemukan keseimbangan demikian senantiasa adalah sulit
dan dilematis.
Kalau kita mengambil posisi bahwa perekonomian kita harus bisa hidup dan
berkembang di medan persaingan internasional maka daya saing
perekonomian kita menjadi tarohan utama. Tetapi mengapa kita harus
memilih untuk main di medan permainan global? Negeri kita cukup besar
sebagai pasar untuk bisa mencari kehidupan di dalam negeri saja. Itu
memang bisa, akan tetapi konsekuensinya juga berat. Negeri kita adalah besar
dalam ukuran jumlah penduduk, akan tetapi kalau diukur dengan besarnya
Produk Domestik Bruto (PDB) maka perekonomian Indonesia relatip kecil.
Besar pasar lebih penting diukur dengan daya beli ketimbang besar
penduduk.
Maka pasar dalam negeri saja tidak cukup untuk
meraih pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi untuk memperbaiki keadaan
sosial, terutama untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Ekonomi
Indonesia harus merupakan ekonomi terbuka, open economy (terhadap dunia). Rumus pertumbuhan untuk ekonomi terbuka demikian adalah (menggenjot)
investasi dan ekspor. Akhirnya, hanya investasilah yang dapat
menciptakan kesempatan kerja baru dan menambah pendapatan nasional.
Karena Indonesia belum bisa menghasilkan alat-alat modalnya sendiri maka
ini harus diimpor. Juga banyak bahan baku untuk industri manufaktur
masih harus diimpor. Untuk menjamin dan meningkatkan kemampuan
mengimpor demikian maka Indonesia harus mampu mengekspor dan setiap
tahun kemampuan ekspor ini harus menjadi lebih besar. Antara
kebesaran-kebesaran impor, ekspor, investasi dan peningkatan produk
nasional ada kaitannya, atau rasio. Misalnya, laju
pertumbuhan ekspor harus lebih besar daripada laju pertumbuhan ekonomi.
Kalau laju pertumbuhan PDB harus sekitar tujuh persen setahun maka
idealnya laju pertumbuhan ekspor harus di atas sepuluh persen setahun.
Laju pertumbuhan sektor industri juga harus di atas laju pertumbuhan
PDB. Laju pertumbuhan ekspor dan laju pertumbuhan sektor industri
manufaktur harus kira-kira sama besarnya, idealnya sekitar 10% setahun.
Di masa Orde Baru angka-angka ini kurang lebih tercapai atau didekati.
Sejak krisis besar 1998 angka-angka itu belum pulih. Kenaikan ekspor
dan sektor industri masih di bawah 10% setahun.
Maka “daya
saing nasional” terutama untuk industri menjadi sangat penting.
Sayangnya, daya saing nasional itu juga mengalami penurunan sejak krisis
besar. Sekarang negara-negara yang sering dipuji dunia internasional adalah Cina,
India dan Vietnam. Indonesia masih bisa bertahan persaingan dengan
Cina di pasar internasional, akan tetapi hanya dalam beberapa sub-sektor
saja yang Indonesia masih punya keunggulan.
Kenaikan
ekspor (dan PDB) yang bagus di Cina, India dan Vietnam didukung oleh
besar daya saingnya dalam bidang-bidang yang mendasar. Untuk India
misalnya bidang IT (Information Technology), untuk Cina iklim investasi
yang mampu menarik banyak sekali investor asing (Amerika, Jepang,
dsb-nya). Ekspor besar Cina ke Amerika Serikat datang dari ribuan
perusahaan asing yang masuk Cina sebelumnya. Vietnam sekarang unggul
karena buruhnya rajin sekali, masih murah, suka kerja dan tidak pernah
mogok. Comparative advantage Indonesia pada dasarnya terletak
pada supply tenaga kerja yang berlimpah, dan kekayaan alamnya. Akan
tetapi, sejak tujuh tahun yang lalu ini maka daya saing tenaga kerja
Indonesia mengalami erosi. Pasar tenaga kerja kehilangan
fleksibilitasnya karena peraturan perundangan memberi proteksi yang
terlalu besar kepada buruh.
Daya saing internasional Indonesia harus meningkat. Ini adalah tugas
utama pemerintah dalam jangka panjang. Akan tetapi, di jangka pendek
maka tuntutan proteksi besar dan secara politis dan sosial tuntutan
demikian juga tidak bisa diingkari atau ditolak. Maka pemerintah,
khususnya menteri perdagangan, harus pandai mencari keseimbangan. Di
mana posisinya menteri tenaga kerja? Apakah tugas utamanya harus
memberi proteksi? Ini tidak terang. Akan tetapi, Menteri Perekonomian,
dan akhirnya Presiden, harus menetapkan prioritas nasional, entah
secara umum, atau kasus per kasus. Contoh lain adalah di bidang pertambangan, yang prioritasnya sekarang digugat oleh gerakan lingkungan hidup. Padahal pertambangan adalah bagian
dari sektor kekayaan alam Indonesia yang punya keunggulan dan potensial
sangat mampu ekspor. Di Filipina maka Presiden menetapkan bahwa proyek
pertambangan yang potensial harus didahulukan terhadap kepentingan
lingkungan hidup.
Setiap kali menjelang akhir tahun kita mengharapkan tahun yang datang
lebih baik. Perkembangan tahun sekarang sungguh tidak terlalu
menggembirakan. Walaupun pertumbuhan ekonomi di triwulan pertama tahun
2005 masih baik, yakni sekitar
6,1% ukuran tahunan, namun pada triwulan-triwulan berikutnya
pertumbuhan ini turun. Pada triwulan keempat ada kejutan besar berupa
kenaikan harga-harga BBM. Ini menimbulkan inflasinya sendiri yang angkanya juga lebih besar daripada yang diperkirakan. Kalangan pemerintah memperkirakan dampak inflasi tambahan karena kenaikan harga BBM ini sekitar
5%, akan tetapi nyatanya antara tujuh dan delapan persen, oleh karena
harga-harga pangan dan produk pangan ikut naik. Ini menandakan bahwa di
masyarakat ada inflationary expectations yang masih cukup tinggi.
Inflasi tinggi pada triwulan terakhir tahun 2005 ini belum akan
reda di triwulan pertama tahun 2006. Memerlukan enam bulan untuk
menghilangkan dampaknya. Bahkan kalangan Bank Indonesia agak cemas, di
triwulan ketiga pun masih akan terasa buntut inflasi. Maka prospek
ekonomi untuk tahun 2006 sungguh tidak terlalu cerah. Laju ekonomi
tahun 2005 mungkin hanya mencapai 5,4% (di bawah angka sasaran 6%). Ada
kemungkinan bahwa kinerja pertumbuhan ekonomi tahun 2006 tidak akan
lebih baik. Ini terutama disebabkan investasi tidak akan optimal. Investor swasta akan bersikap menunggu karena melihat ketidakpastian yang masih
cukup besar, juga dalam kebijakan pemerintah. Tingkat konsumsi juga
tidak akan terlalu kuat karena daya beli di masyarakat terpukul oleh
kenaikan harga-harga. Investasi yang masih bisa diharapkan untuk sedikit menstimulasi ekonomi di tahun 2006 adalah investasi pemerintah, terutama kalau proyek-proyek (DIPA) yang tidak
atau belum bisa dilaksanakan di ujung tahun 2005 bisa dicarry-over ke
tahun 2006. Oleh karena ini maka sasaran defisit APBN untuk tahun 2006
akan lebih besar. Defisit membesar dari (rencana) 0,7% PDB menjadi 1,1%
PDB (1% PDB akan sebesar sekitar Rp 30 trilyun). Asal saja defisit yang lebih besar ini masih bisa dibiayai dengan cara-cara yang non-inflator,
tidak perlu ditakuti. Bank Indonesia juga sudah sadar pembatasan ini.
Mengusahakan pembiayaan tambahan 0,5% PDB, atau sekitar
Rp 15 trilyun, secara non-inflator tidak bisa dipandang soal mudah.
Pemerintah tidak mau menambah pinjaman luar negeri lagi. Dana-dana
dalam negeri masih cukup ada, tetapi Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia harus sangat berhati-hati dan “profesional” mengelola pasar
uang dan modal dalam negeri. Dampaknya kepada sektor swasta (yang disebut “crowding out”) kalau pemerintah
terlalu banyak menyedot dana-dana dalam negeri juga harus
diperhatikan. Pejabat Bank Indonesia pada suatu panel belakangan ini
menyadari ini, sehingga kita bisa merasa cukup aman.Dengan segala pembatasan pada ekonomi makro yang masih menguasai tahun 2006 itu, bagaimana prospek pengurangan kemiskinan dan penambahan kesempatan kerja yang dijanjikan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika dilantik menjadi
presiden? Pasti tidak akan tercapai. Tahun 2006 masih harus dipandang
sebagai tahun konsolidasi dari ekonomi yang telah terpaksa menerima pukulan-pukulan besar di tahun 2005. Kalau laju
pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2006 tidak bisa diharapkan melebihi
5,5% maka hanya tercapainya serta konsolidasi stabilitas ekonomi yang harus dipentingkan. Sasaran-sasaran lain untuk sementara “dinomorduakan” saja.Sebetulnya masih ada satu “jalan keluar” yang harus ditempuh, yakni meneruskan, bahkan menggenjot segala macam reformasi, terutama yang bersifat deregulasi atau liberalisasi (mencabut peraturan-peraturan yang menghambat perkembangan ekonomi) untuk membuat ekonomi Indonesia lebih fleksibel. Suatu contoh kecil: kalau asing diizinkan membeli rumah atau real estate maka ini akan membuka pasar dan kesempatan kerja baru.Dalam
batas-batas tertentu APBN 2006, pemerintah juga masih bisa memberikan
kompensasi sosial. Setelah subsidi BBM dikurangi maka ada sejumlah dana
(sekitar Rp 50 trilyun) yang bisa dipakai untuk meningkatkan pengeluaran di tiga bidang, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur pedesaan. Sayang APBN 2006 masih sangat dibebani oleh pos angsuran utang, yang melebihi
Rp 90 trilyun. Bagaimana pos ini bisa dikurangi pada waktu ini belum
ada titik terang. Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas juga sudah
menampik balon percobaan Kepala Bappenas, Paska Suzetta, untuk
mengusahakan potongan (haircut) pinjaman luar negeri. Kemungkinan
restrukturisasi utang pemerintah yang lain menyangkut utang dalam negeri, khususnya surat berharga yang belum
di tangan publik dan masih dipegang oleh bank-bank (BUMN) besar.
Tetapi, sikap menteri keuangan/kepala Bappenas tampak sangat
konservatip. Masalah beban angsuran utang negara sekonyong-konyong timbul
di pembicaraan umum sesudah reshuffle kabinet yang menghasilkan tokoh
politik sebagai kepala BAPPENAS, Paskah Suzetta. Ia bukan “teknokrat”
(sebutan populer ahli ekonomi non-partai dalam kedudukan menteri)
melainkan ketua komisi di DPR dan kader Partai Golkar. Menurut orang
IMF yang berkedudukan di Jakarta, ia tidak heran karena pada pengalaman
kontaknya dengan DPR masalah ini sering masuk pembicaraan. Di lain
fihak, dari tokoh-tokoh pemerintah, terutama menteri ekonomi, masalah
ini jarang sekali diketengahkan dan dianggap terlalu sensitip.
Bagi kalangan DPR cukup ada alasan. Sebelum penyesuaian
harga-harga BBM maka APBN terlalu dibebani oleh dua mata anggaran yang
dipandang kurang bisa memacu pertumbuhan ekonomi, pertama, pos anggaran
angsuran utang, dan kedua, subsidi BBM. Untuk bisa melihat angka-angka
dalam perspektip harus diingat bahwa besar PDB Indonesia untuk tahun 2006 akan sekitar Rp 3000 trilyun. Belanja negara sekitar Rp 650 trilyun atau sekitar
20%. PDB Pos angsuran utang luar negeri untuk 2006 adalah Rp 60 untuk
angsuran pokok dan Rp 30 trilyun untuk bunganya, yang dipandang terlalu
berat (total 14% PDB). Rasio yang baik adalah antara lima dan sepuluh
persen. Subsidi BBM sudah banyak dikurangi, walaupun minyak tanah masih
diberi subsidi besar. Harga resmi seliter adalah sekitar Rp 2000 sedangkan biaya pengadaan di atas Rp 4000 seliter. Maka di APBN 2006 masih ada pos sekitar Rp 50 trilyun untuk subsidi BBM.Kewajiban
pada 2006, total kewajiban utang luar negeri Rp 88,4 trilyun dan utang
dalam negeri Rp 80 trilyun. Maka beban utang luar negeri adalah sekitar 30% dari PDB. Rasio utang luar negeri terhadap PDB ini sudah banyak diturunkan. Di tahun 2000 masih sekitar 100% PDB dan di tahun 2005 sudah sekitar
50% PDB. Maka dilihat dari kemampuan (kapasitas) ekonomi untuk
menanggungnya harus disimpulkan tidak ada masalah besar. Akan tetapi,
dana yang harus disediakan untuk angsuran utang ini harus dibandingkan
dengan pos lain dalam anggaran belanja, yang secara sosial ekonomi lebih
penting, yakni belanja pembangunan, terutama di sektor pendidikan,
kesehatan dan pembangunan infrastruktur. Anehnya,
pernyataan Menteri Kepala Bappenas baru itu bukan tuntutan mutlak.
Lebih banyak merupakan “harapan”, dan diakuinya masih harus dibicarakan
dengan menteri keuangan dan menko perekonomian. Dalam hal ini, menteri
perekonomian, Sri Mulyani Indrawati, lebih bersikap diam tanpa komentar.
Kiranya, baik menteri keuangan maupun menko perekonomian tidak mau
bikin kaget para kreditor dan pasar uang. Maka dalam berapa waktu yang
akan datang harus dicermati, apakah permulaan diskusi publik mengenai
pengurangan pembayaran utang ini akan lebih mencuat dan memanas, atau
akan mati, ditinggalkan tanpa konklusi yang praktis. Lepas
dari segi politis dari ucapan menteri kepala Bappenas yang baru, maka
masalah pembayaran kembali utang negara harus dibedakan antara keperluan
jangka pendek dan jangka panjang. Beban pembayaran kembali masih akan
berat untuk masa jangka panjang, kira-kira lima belas tahun yang akan datang. Padahal usia jabatan menteri hanya lima tahun.
Maka bagi menteri masalah jangka pendek lebih penting. Masalah jangka
pendek bisa berupa memuncaknya keperluan pembayaran kembali. Beban
puncak pembayaran ini bisa diupayakan untuk lebih diratakan, artinya,
diupayakan rescheduling beberapa beban utang yang jatuh tempo. Ini
adalah kewajiban “management utang” yang sudah dilaksanakan oleh
Departemen Keuangan secara rutin. Di tahun 2005 ini kebetulan pemerintah juga menerima “moratorium” (penjadwalan satu tahun)
karena beberapa negara kreditor bersedia membantu Indonesia mengurangi
beban rehabilitasi bencana tsunami di Aceh. Fasilitas ini tidak akan
tersedia lagi tahu depan.Apakah Indonesia patut dan wajar
mendapat keringanan angsuran lagi? Menurut perhitungan IMF dan
pemerintah sendiri, hal demikian tidak terlalu mendesak. Akan tetapi,
karena ada kasus Nigeria dan Argentina, maka ada yang mempertanyakan
kebutuhan yang serupa untuk Indonesia. Suatu jawaban yang afdol
tidak ada. Pemotongan utang bagi Nigeria (sebetulnya negara yang cukup
mampu karena produsen minyak bumi) disebabkan oleh karena satu negara
kreditor, yakni Inggris, bersikap ramah terhadap negara bekas
jajahannya. Kasus Argentina lebih kompleks, dan pemerintahnya “nekad”
karena kepepet. Pemerintah Indonesia tidak mau “nekad” karena takut
peringkatnya di pasar modal akan jatuh. Tetapi, sikap IMF juga tidak
mutlak menolak. Kalau ada negara kreditor yang besar mau membantu
Indonesia, silahkan. Kemungkinannya hanya Jepang. Reaksi Jepang pertama
akan menolak keras karena undang-undang dan sikap masyarakatnya, akan
tetapi mungkin bisa melunak, seperti pernah terjadi. Masalah beban angsuran utang negara sekonyong-konyong timbul
di pembicaraan umum sesudah reshuffle kabinet yang menghasilkan tokoh
politik sebagai kepala BAPPENAS, Paskah Suzetta. Ia bukan “teknokrat”
(sebutan populer ahli ekonomi non-partai dalam kedudukan menteri)
melainkan ketua komisi di DPR dan kader Partai Golkar. Menurut orang
IMF yang berkedudukan di Jakarta, ia tidak heran karena pada pengalaman
kontaknya dengan DPR masalah ini sering masuk pembicaraan. Di lain fihak, dari tokoh-tokoh pemerintah, terutama menteri ekonomi, masalah ini jarang sekali diketengahkan dan dianggap terlalu sensitip.
Bagi kalangan DPR cukup ada alasan. Sebelum penyesuaian harga-harga BBM maka APBN terlalu dibebani oleh dua mata anggaran yang dipandang kurang bisa memacu pertumbuhan ekonomi, pertama, pos anggaran angsuran utang,
dan kedua, subsidi BBM. Untuk bisa melihat angka-angka dalam
perspektip harus diingat bahwa besar PDB Indonesia untuk tahun 2006 akan
sekitar Rp 3000 trilyun. Belanja negara sekitar Rp 650 trilyun atau sekitar 20%. PDB Pos angsuran utang luar negeri untuk 2006 adalah Rp 60 untuk angsuran pokok
dan Rp 30 trilyun untuk bunganya, yang dipandang terlalu berat (total
14% PDB). Rasio yang baik adalah antara lima dan sepuluh persen.
Subsidi BBM sudah banyak dikurangi, walaupun minyak tanah masih diberi
subsidi besar. Harga resmi seliter adalah sekitar Rp 2000 sedangkan
biaya pengadaan di atas Rp 4000 seliter. Maka di APBN 2006 masih ada
pos sekitar Rp 50 trilyun untuk subsidi BBM.Kewajiban pada 2006, total kewajiban utang luar negeri Rp 88,4 trilyun dan utang dalam negeri Rp 80 trilyun. Maka beban utang luar negeri adalah sekitar 30% dari PDB. Rasio utang luar
negeri terhadap PDB ini sudah banyak diturunkan. Di tahun 2000 masih
sekitar 100% PDB dan di tahun 2005 sudah sekitar 50% PDB. Maka dilihat
dari kemampuan (kapasitas) ekonomi untuk menanggungnya harus disimpulkan
tidak ada masalah besar. Akan tetapi, dana yang harus disediakan untuk angsuran utang ini
harus dibandingkan dengan pos lain dalam anggaran belanja, yang secara
sosial ekonomi lebih penting, yakni belanja pembangunan, terutama di
sektor pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur. Anehnya,
pernyataan Menteri Kepala Bappenas baru itu bukan tuntutan mutlak.
Lebih banyak merupakan “harapan”, dan diakuinya masih harus dibicarakan
dengan menteri keuangan dan menko perekonomian. Dalam hal ini, menteri
perekonomian, Sri Mulyani Indrawati, lebih bersikap diam tanpa komentar.
Kiranya, baik menteri keuangan maupun menko perekonomian tidak mau
bikin kaget para kreditor dan pasar uang. Maka dalam berapa waktu yang
akan datang harus dicermati, apakah permulaan diskusi publik mengenai
pengurangan pembayaran utang ini akan lebih mencuat dan memanas, atau akan mati, ditinggalkan tanpa konklusi yang praktis. Lepas dari segi politis dari ucapan menteri kepala Bappenas yang baru, maka masalah pembayaran kembali utang negara harus dibedakan antara keperluan jangka pendek dan jangka panjang. Beban pembayaran
kembali masih akan berat untuk masa jangka panjang, kira-kira lima
belas tahun yang akan datang. Padahal usia jabatan menteri hanya lima
tahun. Maka bagi menteri masalah jangka pendek lebih penting. Masalah jangka pendek bisa berupa memuncaknya keperluan pembayaran kembali. Beban puncak pembayaran ini bisa diupayakan untuk lebih diratakan, artinya, diupayakan rescheduling beberapa beban utang yang jatuh tempo. Ini adalah kewajiban “management utang”
yang sudah dilaksanakan oleh Departemen Keuangan secara rutin. Di
tahun 2005 ini kebetulan pemerintah juga menerima “moratorium”
(penjadwalan satu tahun) karena beberapa negara kreditor bersedia membantu Indonesia mengurangi beban rehabilitasi bencana tsunami di Aceh. Fasilitas ini tidak akan tersedia lagi tahu depan.Apakah Indonesia patut dan wajar mendapat keringanan angsuran lagi?
Menurut perhitungan IMF dan pemerintah sendiri, hal demikian tidak
terlalu mendesak. Akan tetapi, karena ada kasus Nigeria dan Argentina,
maka ada yang mempertanyakan kebutuhan yang serupa untuk Indonesia.Suatu jawaban yang afdol tidak ada. Pemotongan utang bagi Nigeria (sebetulnya negara yang cukup mampu karena produsen minyak bumi) disebabkan oleh karena satu negara kreditor, yakni Inggris, bersikap ramah terhadap negara bekas
jajahannya. Kasus Argentina lebih kompleks, dan pemerintahnya “nekad”
karena kepepet. Pemerintah Indonesia tidak mau “nekad” karena takut
peringkatnya di pasar modal akan jatuh. Tetapi, sikap IMF juga tidak
mutlak menolak. Kalau ada negara kreditor
yang besar mau membantu Indonesia, silahkan. Kemungkinannya hanya
Jepang. Reaksi Jepang pertama akan menolak keras karena undang-undang
dan sikap masyarakatnya, akan tetapi mungkin bisa melunak, seperti
pernah terjadi. Pada umumnya, Pemerintah sadar bahwa keadaan ekonomi tidak terlalu
baik. Ekonomi jangka pendek hidup di bawah bayangan inflasi yang sangat
tinggi, kira-kira 18% setahun, terutama setelah kenaikan harga BBM bulan
Oktober. Laju pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan pun tidak
akan mencapai sasaran pemerintah. Untuk tahun ini kalau sedikit di atas
5,3% sudah bagus. Untuk tahun depan maka sasaran pemerintah adalah
6,2% akan tetapi ini sudah pasti tidak akan tercapai. Apakah laju
pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa sedikit lebih baik daripada tahun
2005, itu pun pada waktu ini tampak tidak pasti.
Triwulan pertama tahun 2005 masih menampakkan laju pertumbuhan
ekonomi yang baik, yakni 6,2% ukuran setahun, akan tetapi ekonomi
melemah sejak itu, dan pengaruh kenaikan harga BBM yang lebih dari 100%
memukul konjungtur ekonomi ini. Ini tidak berarti bahwa kebijakan
menaikkan harga BBM itu salah. Mungkin kenaikannya terlalu tinggi, akan
tetapi itu adalah akibat harga-harga itu tidak dinaikkan secukupnya
sewaktu pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Setelah disesuaikan maka
anggaran belanja tidak mampu memanfaatkan kenaikan penerimaan untuk
menstimulasi ekonomi oleh karena peraturan-peraturan baru dalam
penyusunan anggaran belanja pemerintah mengenai Daftar Isian Proyek
Anggaran (DIPA). Maka sampai November 2005 secara nyata ada surplus. Maka
pada waktu ini ekonomi mengalami inflasi tinggi dan pertumbuhan yang
“kurang darah”. Maka yang merupakan pilihan kebijakan yang pelik
adalah, apakah yang harus diprioritaskan: pendinginan inflasi atau
stimulasi ekonomi? Ini tampak pada pesan atau program Presiden dan
para menteri. Presiden pesankan enam agenda: 1. Menyehatkan makro
ekonomi, 2. Mengendalikn inflasi, 3. Memperbaiki arus barang kebutuhan
pokok, 4. Menciptakan lapangan kerja baru dengan merealisasikan
pembangunan infrastruktur yang padat karya, 5. Menggenjot pertumbuhan
ekonomi dengan meningkatkan kontribusi investasi dan ekspor, dan 6.
Memperbaiki neraca pembayaran, baik neraca modal maupun transaksi
berjalan. Menko Perekonomian Boediono menekankan: 1. Memantapkan
stabilitas ekonomi, inflasi dan kurs rupiah, 2. Menggerakkan roda
perekonomian, 3. Memperbaiki koordinasi pemerintah dengan Bank
Indonesia. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menekankan:
1. Menurunkan tingkat inflasi hingga satu digit, 2. Mendorong penciptaan
lapangan kerja, 3. Mengurangi tingkat kemiskinan. Sementara
itu, Bank Indonesia akan meneruskan kebijakan moneter yang ketat untuk
meredam inflasi dan terpaksa menaikkan suku bunga. Mudah ada konflik
antara sasaran meredam inflasi di satu fihak, dan menggerakkan roda
perekonomian di lain fihak. Maka bagaimana mencari jalan tengah
diantara kedua sasaran itu? Salah suatu kiat adalah untuk tidak terlalu
takut kepada inflasi tinggi sekarang oleh karena sebetulnya tidak
disebabkan oleh kelebihan permintaan. Inflasi lebih banyak karena
supply adjustment. Kalau Bank Indonesia harus mengurangi tekanan
inflasi dengan menaikkan suku bunga maka sektor swasta akan direm dalam
ekspansinya. Maka sebagai imbangan pemerintah harus melonggarkan
kebijakan fiskalnya, artinya jangan takut mengeluarkan uang untuk
menstimulasi ekonomi. Sudah tentu semuanya dalam batas-batas yang
wajar. Defisit APBN juga harus bisa dibiayai lewat cara-cara yang
non-inflator. Anehnya, hanya surat kabar berbahasa Inggris, The
Jakarta Post, yang hari Jum’at yang lalu menurunkan kepala berita besar
di halaman pertama: “Spending to be key to economic recovery”, dan
mengutip Menko Boediono yang bicara di depan pers: “We expect to start
unloading government spending for projects in the first quarter next
year to help stimulate the economy, since the private sector is still
feeling the pinch of the dip”. Pesan ini kurang ditangkap dan
ditonjolkan oleh surat-surat kabar yang lain. Pernyataan yang
serupa pernah diucapkan oleh Sri Mulyani ketika masih Kepala Bappenas.
Setelah ia menjadi menteri keuangan maka bisa diharapkan akan memegang
garis kebijakan yang sama. Pantas juga dicatat bahwa Menko
Perekonomian Boediono akan berusaha keras untuk memperbaiki iklim
investasi dengan menyingkirkan segala peraturan yang menghambat.
Kinerja ekspor akhirnya juga tergantung dari iklim investasi itu karena
barang yang bisa menaikkan ekspor non-migas secara banyak adalah hasil
industri manufaktur, bukan lagi komoditi primer. Iklim investasi masih
belum terlalu baik dan para investor mengharapkan pemerintah bisa
mengadakan reformasi yang efektip di paling tidak dua bidang: perpajakan
dan perburuhan. Ekonomi Indonesia sebetulnya tidak terlalu terpuruk. Dengan laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih baik daripada lima
persen setahun maka tidak bisa dibilang ekonomi mengalami resesi
ataupun stagflasi. Tetapi, laju pertumbuhan PDB yang kurang dari 6,5-7,0
persen setahun memang kurang mampu mengurangi angka pengangguran.
Pilihan-pilihan di bidang ekonomi sering merupakan mencari
keseimbangan. Untuk meredam inflasi tinggi maka pilihannya adalah
antara stabilisasi dengan menekan pedal rem yang keras akan tetapi
sektor riil oleng sedikit, atau tekan rem pelan-pelan tetapi tingkat
inflasi juga mereda secara lebih lamban. Kalau investor masih kurang
merasa aman dengan iklim moneter itu maka ia akan menangguhkan keputusan
investasinya. Maka PDB juga tidak akan segera pulih. Mencari
keseimbangan yang tepat tidak mudah dan merupakan “seni memerintah”.
Tahun pertama pemerintah Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono lebih berhasil di bidang politik dan
keamanan. Di bidang ekonomi yang dirasakan publik hanya biaya hidup
yang sangat meninggi, penangguran yang memuncak, dsb-nya. Akan tetapi
penyesuaian ekonomi yang paling berat (mengurangi defisit APBN) telah
dilakukan di tahun 2005 sehingga tahun 2006 dan 2007 bisa dipastikan
prospeknya lebih baik. Sebagai negara produsen minyak dan gas bumi maka
sebetulnya ekonominya harus diuntungkan kalau harga internasional
baik. APBN harus bisa lebih mampu.
Persepsi
orang dalam negeri dan luar negeri juga banyak berbeda. Orang dalam
negeri yang merasakan beban hidup sekarang cenderung melihat keadaan jangka pendek. Pasar di luar negeri pada umumnya
lebih menghargai gerak dan kebijakan ekonomi di Indonesia, yang
dipandang sudah on track. Pasar dan pengamat di luar negeri lebih
cenderung melihat prospek dari jangka yang lebih panjang. Tahun 2006
mungkin masih ada kelanjutan kesukaran penyesuaian, akan tetapi prospek
untuk tahun 2007 tampak jauh lebih baik.
Sementara
itu, Presiden SBY juga harus memperhatikan keseimbangan (pengaruh
politik) antara pejabat-pejabat yang mengemudikan ekonomi.
“Keseimbangan” ini menjadi masalah karena antara Presiden SBY dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla ada banyak komplementaritasnya akan tetapi juga ada
perbedaan persepsi, gaya kepemimpinan, dan kepentingan. Maka mungkin
dirangkulnya Boediono oleh SBY adalah untuk memperbaiki keseimbangan
ini. Posisi Sri Mulyani tidak tegas, apakah ia “orang JK atau lebih
dekat kepada SBY”.
Kalau Sri Mulyani menjadi “independen” atau “mengambang” maka itu
mungkin yang paling baik untuk keseluruhan keseimbangan. Sebagai ketua
Bappenas yang baru telah ditunjuk seorang dari Partai Golkar, jadi masuk
kubu Jusuf Kalla. Maka tiga-sejoli pimpinan ekonomi: menteri keuangan,
menko perekonomian dan ketua Bappenas tidak merupakan kesatuan yang
solid, akan tetapi wewenang ketua Bappenas sudah dikurangi (oleh UU
Keuangan Negara) dan bergeser ke menteri keuangan. Maka Sri Mulyani
sekarang bisa dilihat sebagai menteri ekonomi yang paling menentukan.
Karena keadaan ekonomi
tahun 2005 berat sekali dan banyak timbul pengangguran baru, juga daya
beli masyarakat yang terpukul, maka ada keharusan politik bagi Presiden
SBY untuk bisa menggerakkan ekonomi di tahun 2006. Tetapi, karena
tekanan inflasi masih berat maka Bank Indonesia berniat untuk meneruskan
kebijakan moneter yang ketat. Maka dilemanya bagi pemerintah adalah, apakah kebijakan fiskal bisa sedikit ekspansip untuk memberi stimulasi kepada ekonomi
dan menciptakan kesempatan kerja? Oleh menteri keuangan yang baru, Sri
Mulyani Indrawati, maka dijawab Ya. Pengeluaran untuk pembangunan dan
stimulasi ekonomi mau digenjot di tahun 2006 dengan mengizinkan defisit
APBN naik menjadi 1% PDB, terutama untuk mengimbangi kekurangan spending
di tahun 2005.
Masuknya Boediono di kabinet pada umumnya
diterima baik oleh pasar. Tetapi, masih ada orang yang menyangsikan
apakah Boediono (bahkan Presiden sendiri) bisa independen dari pengaruh
IMF. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rupanya merasa tersinggung oleh
prasangka demikian dan memberi komentar ketika mengumumkan susunan
kabinet yang baru. Issue IMF tahun yang lalu juga mencuat dan
menyebabkan Sri Mulyani (yang dipandang dekat pada IMF)
gagal menempati posisi sebagai menteri keuangan. Lalu dicari tokoh
yang netral, Jusuf Anwar, yang setelah satu tahun juga terbukti bukan
pilihan yang tepat. Sekarang Sri Mulyani ditempatkan di keuangan.
Apakah ini bukan buang waktu satu tahun karena Presiden (dulu) terpojok
oleh issue yang tidak relevan? Memang, issue IMF dan paradigma sistim
ekonomi (“neo-liberalisme”?) sudah lama tidak merupakan alternatip yang
relevan. Sejak 1967 maka pemerintah lebih mengandalkan pengelolaan ekonomi kepada “mekanisme pasar” sebagai alokator, dan zaman “Ekonomi Terpimpin” (kembarnya “Demokrasi Terpimpin”) sudah lama ditinggalkan.
Walaupun susunan kabinet ekonomi selama tahun pertama pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono tidak ideal, tidak bisa diharapkan kinerja
yang maksimal sejak permulaan. Gaya kepimpinan SBY sendiri juga tidak
ideal kuat, dan kalau satu tahun dipergunakannya untuk mencari format
yang lebih efektip, itu bisa dimengerti. Hasil pemerintahnya
di bidang politik dan keamanan sudah bagus, sehingga secara keseluruhan
kita bisa angkat jempol. Ketika Presiden kemarin mengumumkan susunan
kabinetnya yang baru maka kesan di mata publik yang ia ingin tonjolkan
adalah bahwa ia
in command. Dengan dukungan Menko Perekonomian Boediono dan Menteri
Keuangan Sri Mulyani memang banyak kesempatan untuk berhasil. Wakil
Presiden Jusuf Kalla akan mendukung sukses ini karena Partai Golkar juga
berkepentingan akan citra pembangunan yang berhasil. (HABIS)
| | | | | | | | | | |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar