Jumat, 21 September 2012

Bangsa yang Lupa Bercermin


Bangsa yang Lupa Bercermin

Ya, kita semua hampir-hampir tak tahu lagi apa itu cermin, fungsi, dan manfaatnya. Kita lebih sering mencermati wajah orang lain ketimbang wajah sendiri.
Betapa mata kita sangat tajam mendapati flek-flek pada muka orang. Dan betapa ternyata mulut pun menjadi gatal untuk mengatakan keburukan-keburukan yang dilihatnya seraya bak seorang ahli mengatakan bagaimana seharusnya keburukan itu diperbaiki.
Kita semua. Ya kita semua. Apakah ini karena mainstream kebebasan berpendapat pasca runtuhnya belenggu orde baru? Sehingga ibarat kuda yang selama ini dikurung maka ketika pintu dibuka sang kuda lari kemana tak tentu arah? Bukankah ini berarti sejak dalam kurungan sang kuda memang tak tahu kemana akan melangkah jika berkesempatan bebas?
Pemerintah dihujat. Legislatif dicerca. Rakyat menderita. Demonstrasi menjadi senjata. Separuh bangsa menjadi apriori dan sinis. Pembunuhan menjadi sesuatu yang biasa, kenistaan menjadi sesuatu yang meraja. Agama tak lagi mampu menjadi tuntunan. Tuhan-tuhan baru bermunculan. Tuhan Uang, Tuhan Jabatan, Tuhan Koalisi, Tuhan Partai, Tuhan Media, dan seribu Tuhan lainnya.
Seperti inikah hidup yang dinginkan Bangsa? Siapa yang harus disalahkan jika keadaan telah seperti ini?
Sah-sah saja kita bercita dan berharap akan perbaikan Bangsa. Tapi ingat, bangsa ini terdiri dari banyak individu. Nah, dari sini mari kita sadari. Mari kita bercermin. Sudah menjadi individu yang bajik dan bijak bagi bangsakah kita ini? Jika belum, mari kita berkonsentrasi saja pada perbaikan diri. Sebab, jika saja sebagian besar bangsa ini menyadari ini, maka bayangkan kebaikan yang akan nyata terjadi pada bangsa. Sebaliknya, jika sebagian besar bangsa ini lupa diri, maka kenyataan seperti sekaranglah yang dihasilkan.
Akhirnya, cukuplah sudah kita berkutat pada wajah orang lain. Raihlah cermin dan mari kita gunakan untuk mencari keburukan kita sendiri yang setelahnya lalu kita perbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar