Selasa, 27 Maret 2012
Dilema
Hubungan PAN-Muhammadiyah
12/01/2011 01:30 | 1186 Views |
Sejarah berdirinya Partai Amanat
Nasional (PAN) tidak lepas dari hasil Sidang Tanwir Muhammadiyah, 5-7 Juni 1998
di Semarang, Jawa Tengah. Dalam sidang itu, Komisi C merekomendasikan kepada
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah agar mempersiapkan partai politik baru. Pada
penutupan sidang, Amien Rais mengumumkan akan membentuk partai politik baru.
Sejak itulah pertautan sejarah Muhammadiyah-PAN terukir.
PAN yang lahir dari rahim reformasi
memang tidak semata melibatkan unsur Muhammadiyah. Unsur lainnya juga terlibat
secara intens, antara lain kelompok Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang didirikan
pada 14 Mei 1998 oleh beberapa intelektual prodemokrasi seperti Goenawan
Mohamad, Faisal Basri, Th Sumartana, Albert Hasibuan, Toety Herawaty dan
sebagainya. Sedangkan para intelektual muslim kelompok Tebet Society juga ikut
memberikan kontribusi terhadap proses pendirian PAN. Di antaranya Amin Azis, AM
Fatwa, Dawam Rahardjo, AM Luthfi, Abdillah Thoha, dan lain-lain. Eksponen Tebet
Society ini juga para aktivis Muhamadiyah.
Setelah PAN dideklarasikan 23
Agustus 1998, dilanjutkan dengan pembentukan PAN di wilayah dan daerah di
seluruh pelosok nusantara. Karena para inisiator dan yang terlibat di komite pendirian
PAN lebih banyak aktivis dan fungsionaris Muhammadiyah. Tidak heran bila
perluasan infrastruktur PAN di seluruh pelosok negeri berjalan karena dibantu
jaringan infrastruktur Muhammadiyah.Akar historis ini membuat pernak-pernik
kehidupan PAN semakin berwarna.
Secara organisatoris, tidak ada
hubungan antara PAN dan Muhammadiyah. Namun secara historis, adanya PAN karena
adanya Muhammadiyah. Situasi PAN seperti ini mirip dengan keberadaan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan Nahdlatul Ulama (NU): adanya PKB karena adanya
NU.
Akar masalah
Dalam dua kali pemilihan umum
(pemilu) yang diikuti PAN, sebagian eksponen Muhammadiyah menilai PAN tidak
lagi memperhatikan kader dan suara Muhammadiyah. Kritik itu datangnya dari kaum
muda progresif Muhammadiyah. Dalam penyusunan struktur calon anggota legislatif
(caleg) pada 2004 lalu, misalnya, kader Muhammadiyah tidak ditempatkan dalam
posisi signifikan. Akibatnya, sangat sedikit kader muda Muhammadiyah yang
berhasil lolos ke parlemen.
Menurut saya, kasus ini hanyalah
salah satu pemicu dari pola hubungan yang belum tertata secara baik antara PAN
dan Muhammadiyah. Komunikasi yang tidak lancar menyebabkan adanya kemacetan
interaksi. Tidak heran pada bulan Maret lalu kaum muda progresif Muhammadiyah
mendirikan Perhimpunan Amanat Muhammadiyah (PAM) di kantor Gedung Dakwah
Muhammadiyah, Jl Menteng Raya No 62 Jakarta. Meskipun mengundang pro-kontra,
PAM telah berdiri.
Di samping itu, format hubungan
antara akar historis pendirian PAN dengan identitas PAN sebagai partai plural,
juga menjadi akar persoalan tersendiri. Sebagai partai terbuka, plural,
nonsektarian, dan nondiskriminatif, PAN akan mengakomodasi seluruh anak bangsa
dari berbagai suku, agama, ras, status sosial, gender, dan golongan. Namun,
ketika identitas PAN dikaitkan dengan nilai historis pendirian PAN dan juga
dihubungkan dengan basis sosial PAN yang merupakan warga Muhammadiyah, timbul
persoalan yang hingga kini bak awan gelap yang menutupi sinar matahari.
Persoalan Kultural dan Struktural
Berdirinya PAN merupakan ijtihad
politik Muhammadiyah untuk membentuk partai politik baru dengan Amien Rais,
mantan ketua PP Muhammadiyah, menjadi ketua umumnya. Inilah yang menyebabkan
basis sosial PAN sebagian besar terakumulasi dari warga Muhammadiyah. Sebagian
besar fungsionaris PAN, terutama di wilayah dan daerah adalah warga
Muhammadiyah.
Tapi sampai saat ini masih ada
sejumlah perbedaan pendapat di internal Muhammadiyah dalam menyikapi kondisi
itu. Antara lain, pertama, Muhammadiyah harus mengambil jarak dengan seluruh
partai politik, termasuk PAN. Agar Muhammadiyah tak sampai tersubordinasi atau
terkooptasi oleh kekuatan partai politik. Jarak itu akan menjaga persepsi
publik terhadap Muhammadiyah sebagai institusi sosial keagamaan yang bersikap
netral serta tetap bersifat otonom.
Bila tak ada jarak, hal itu akan
berakibat negatif terhadap eksistensi masing-masing. Muhammadiyah bisa ditarik
ke wilayah politik praktis yang bisa mereduksi citranya sebagai lembaga dakwah.
Bahkan akan semakin mengentalkan citra publik bahwa PAN adalah 'Partai
Muhammadiyah'. Untuk beberapa daerah tertentu yang berbasis Muhammadiyah, tentu
tidak jadi masalah. Namun bagi daerah yang tidak memiliki basis sosial warga
Muhammadiyah, itu jadi faktor penghambat masuknya kelompok sosial non-Muhammadiyah.
Kedua, Muhammadiyah secara lembaga
harus secara jelas mem-back up keberadaan PAN. Sebab Muhammadiyah harus
mempunyai partai politik utama yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya.
Namun back up hanya bersifat aspiratif. Artinya, warga Muhammadiyah tetap akan
menjadikan PAN sebagai partai utama Muhammadiyah untuk menyalurkan aspirasi dan
kepentingannya.
Saya menilai dua pendapat itu sampai
hari ini masih tumbuh subur sebagai wacana. Secara kultural, PAN memang tidak
dapat dilepaskan dari Muhammadiyah. Banyaknya warga Muhammadiyah yang menjadi
fungsionaris PAN di wilayah dan daerah, juga menandai ikatan kultural ini.
Tapi, hal itu ternyata masih pula menyisakan sejumlah persoalan baru ketika
berbicara soal komposisi struktural kepengurusan partai.
Komposisi struktural di wilayah dan
daerah tidak ada masalah. Namun di pusat, sebagian eksponen Muhammadiyah
mempersoalkan PAN yang dianggap tidak mengakomodasi dan mempertimbangkan
kader-kader terbaik Muhammadiyah untuk memperkuat di struktur kekuasaan partai.
Hal itu 'diperparah' persoalan caleg, karena banyak yang ditempatkan di 'nomor
sepatu' dan gagal ke parlemen.
Perlu dijernihkan
Menghadapi persoalan tersebut,
hubungan Muhammadiyah-PAN perlu dijernihkan. Pertama, Muhammadiyah secara
institusional tetap sebagai 'payung politik' (political umbrella) bagi semua
partai politik. Sebab warga peryarikatan tidak hanya melakukan pengabdian
politik di PAN, tapi juga di partai-partai lain. Posisi ini akan mengayomi
seluruh partai politik. Meski secara kultural, kenyataannya warga Muhammadiyah
lebih dekat ke PAN, bahkan hingga terbentuk basis sosial sebagai pemilih
tradisional PAN.
Kedua, karena secara kultural warga
Muhammadiyah lebih dekat ke PAN (atau PAN lebih dekat ke Muhammadiyah), PAN
mesti dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingan politik warga Muhammadiyah
di parlemen agar menjadi kebijakan publik.
Ketiga sebagai partai plural, maka
komposisi struktur PAN penuh dengan warna-warni. Tapi, perlu juga dipikirkan
bagaimana Muhammadiyah secara organisasional melakukan seleksi internal
terhadap kader terbaiknya untuk 'direkomendasikan' masuk di struktur partai
secara lebih proporsional. Namun jangan sampai terkesan PAN hanya milik
Muhammadiyah. Sebab dalam usaha memperbesar basis sosial, partai harus pula merambah
kelompok sosial lainnya.
PAN bukan partai agama. Azas dan
platform partai lebih cenderung mencerminkan nilai-nilai kebangsaan. Meskipun
posisi ideologi politik PAN berada pada kutub tengah, namun memang cenderung ke
kanan. Posisi ini jelas menyiratkan bahwa PAN itu dekat dengan umat dan dalam
pengalaman empirisnya selalu memperjuangkan aspirasi umat.
Keempat, PAN mesti mengembangkan
wacana keumatan dan wacana kebangsaan dalam menegakkan eksistensinya. Mungkin
ini akan mendorong citra PAN sebagai partai plural-inklusif, sekaligus partai
nasionalis-religius. Selanjutnya, wacana ini diturunkan menjadi program aksi,
tanpa membesar-besarkan perdebatan unsur Muhammadiyah-nonMuhammadiyah. Rasanya,
itu merupakan alternatif untuk keluar dari perdebatan internal yang terkadang
punya motif kepentingan pribadi, tapi mengatasnamakan unsur
Muhammadiyah-nonMuhammadiyah.
Bila persoalan di atas dapat
diselesaikan secara struktural maupun kultural, maka upaya PAN untuk melakukan
dialog peradaban dengan Muhammadiyah akan berjalan dengan baik, tanpa menutup
peluang untuk mengembangkan citra PAN yang pluralis, inklusif, dan
nondiskriminatif.
(Tulisan ini dimuat di Republika 25
Juni 2005)
Langganan:
Postingan (Atom)